Dewan Pers: Jangan Layani Permintaan THR dari Oknum Pers
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1440 Hijriah, Dewan Pers mengimbau kepada semua pihak untuk tidak melayani permintaan Tunjangan Hari Raya dalam bentuk apa pun kepada pihak-pihak yang mengaku sebagai organisasi pers, perusahaan pers, atau wartawan. Pemberian THR kepada wartawan jadi kewajiban perusahaan pers tempat mereka bekerja.
Pernyataan tegas Dewan Pers tersebut disampaikan 13 Mei 2019 lalu melalui Surat Edaran Nomor: 345a/DP-K/V/2019 perihal Imbauan Dewan Pers Menjelang Idul Fitri 1440 H. Surat tersebut ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara, Sekretaris Jenderal DPR RI, Panglima TNI, Kapolri, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Dalam Negeri, Pimpinan BUMN/BUMD, Pimpinan Perusahaan, Kepala Biro Humas dan Protokoler Pemprov/Pemkab/Pemkot se-Indonesia, serta Pimpinan Perusahaan Pers.
“Sikap Dewan Pers ini dilandasi sikap moral dan etika profesi dalam menjaga kepercayaan publik dan upaya menegakkan integritas serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme kewartawanan. Dewan Pers tak bisa menolerir adanya praktik buruk di mana wartawan, perusahaan pers, atau organisasi wartawan yang banyak bermunculan belakangan ini meminta-minta sumbangan, bingkisan, ataupun THR,”kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley, Jumat (17/5/2019) di Jakarta.
Stanley menegaskan, pemberian THR kepada wartawan merupakan kewajiban setiap perusahaan pers. Oleh karena itu, siapa pun selain perusahaan pers dapat menolak apabila ada oknum wartawan yang mengaku dari media ataupun organisasi wartawan meminta THR.
“Jika mereka meminta dengan cara memaksa, memeras, atau bahkan mengancam, maka sebaiknya pihak yang mengalami hal ini segara mencatat identitas, nomor telpon, atau alamat mereka dan kemudian cepat melaporkannya ke kantor Polisi terdekat atau Dewan Pers,”kata Stanley.
Saat ini, Dewan Pers memiliki konstituen yang telah terverifikasi meliputi organisasi perusahaan pers dan organisasi wartawan. Dari unsur organisasi perusahaan pers, beberapa konstituen Dewan Pers, meliputi: Serikat Perusahaan Pers (SPS), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI). Sementara itu, dari unsur organisasi wartawan, konstituen Dewan Pers, meliputi: Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Dilarang menyalahgunakan profesi
Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik secara lugas mengatur bahwa wartawan Indonesia tidak (boleh) menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. AJI dalam kode etik nomor 13 secara tegas juga mengatur, jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
Ketua Umum AJI Abdul Manan memaparkan, di berbagai daerah masih banyak ditemukan oknum-oknum yang mengaku diri sebagai wartawan tetapi dalam praktiknya mereka justru melakukan aksi pemerasan dan pengancaman kepada narasumber.
“Menjelang Idul Fitri, jumlah mereka kadang bertambah banyak. Kadang mereka tak sungkan-sungkan untuk meminta langsung THR kepada pejabat atau pengusaha tertentu. Jika ada oknum wartawan yang datang dan meminta THR, suruh mereka meminta kepada pemimpin perusahaan tempat mereka bekerja,” ucapnya.
Jika ada oknum wartawan yang datang dan meminta THR, suruh mereka meminta kepada pemimpin perusahaan tempat mereka bekerja.
Seperti kebijakan Dewan Pers, AJI meminta aparat keamanan tegas menindak tegas siapapun yang menyalahgunakan profesi wartawan untuk meminta-minta. Di sisi lain, untuk menghindari maraknya praktik ini, institusi pemerintah dan swasta serta masyarakat juga harus proaktif menghindari pemberian THR dalam bentuk apapun kepada wartawan atau organisasi wartawan. Upaya-upaya itu penting dalam rangka menjaga integritas serta mutu pers nasional.
Sejak dua tahun terakhir, Dewan Pers memasukkan kode etik jurnalistik sebagai mata uji khusus dalam setiap uji kompetensi jurnalis. Sebelumnya, anggota Dewan Pers Hendry CH Bangun mengatakan, mata uji kode etik jurnalistik diberikan kepada jurnalis sesuai jenjang masing-masing.
Untuk wartawan muda, mereka dituntut bisa memahami dan melaksanakan kode etik jurnalistik, jenjang wartawan madya dituntut bisa memahami dan memastikan penerapan kode etik jurnalistik, kemudian jenjang wartawan utama dituntut bisa memastikan adanya kebijakan dan melakukan edukasi terkait kode etik jurnalistik.