Ketidakpastian ekonomi global memengaruhi perdagangan. Hal ini bisa berdampak terhadap pendapatan negara.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia bisa memperkuat daya tahan sekaligus memanfaatkan perang dagang Amerika Serikat-China yang tekanannya terus meningkat. Upaya itu antara lain meningkatkan ekspor ke negara-negara tujuan nontradisional, mendiversifikasi ekspor, dan menarik penanaman modal asing.
Perang dagang menimbulkan tekanan global yang berdampak terhadap pelambatan pertumbuhan ekonomi.
”Kami sudah melihat tanda-tanda perekonomian mengalami penurunan yang terefleksi dalam penerimaan pajak yang tumbuh melemah,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers kinerja APBN bulan April 2019 di Jakarta, Kamis (16/5/2019).
Data Kementerian Keuangan, realisasi pendapatan negara per April 2019 sebesar Rp 530,7 triliun atau 24,5 persen dari pagu APBN 2019. Pendapatan negara pada April 2019 tumbuh 0,5 persen dibandingkan dengan April 2018. Padahal, pada April 2018, pendapatan negara tumbuh 13,3 persen dibandingkan dengan April 2017.
Kondisi itu tecermin pada realisasi pendapatan pajak Rp 387 triliun, bea keluar Rp 1,5 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 94 triliun. Bea keluar dan PNBP tumbuh negatif, masing-masing 29,8 persen dan 14,8 persen.
”Ekonomi mengalami tekanan dan melemah, tetapi tidak masuk zona negatif. Kita harus mulai waspada,” katanya.
Sri Mulyani menekankan, pemerintah dalam tingkat kewaspadaan tinggi karena situasi ini mirip 2014-2015. Tekanan global menyebabkan kinerja ekspor dan impor tumbuh negatif sehingga berimbas pada pendapatan negara. Kewaspadaan perlu untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
Revisi
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, Rapat Dewan Gubernur BI yang memutuskan suku bunga acuan tetap 6 persen sejalan dengan upaya menjaga stabilitas eksternal perekonomian Indonesia di tengah peningkatan ketidakpastian global. Perang dagang AS-China yang berlarut-larut merambat ke perdagangan dan keuangan banyak negara.
”Dampaknya, ekonomi global diprediksi akan melambat. Proses pemulihan ekonomi global akan lebih lama daripada perkiraan sebelumnya akibat ketidakpastian pasar keuangan kembali meningkat,” ujarnya.
Kondisi ekspor yang berat, seiring dengan perekonomian global yang tumbuh melambat, membuat BI merevisi proyeksi defisit transaksi berjalan 2019, dari 2,5 persen produk domestik bruto (PDB) menjadi 2,5-3 persen PDB.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan RI defisit 2,564 miliar dollar AS pada Januari-April 2019.
Secara terpisah, Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andry Asmoro berpendapat, pemerintah perlu membuat investor betah menempatkan modal di Indonesia. Pemerintah dan BI bisa berkoordinasi menciptakan kebijakan yang dapat menjaga stabilitas ekonomi makro.
Pemerintah juga perlu mendorong swasta menggenjot dan mendiversifikasi ekspor.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Sanny Iskandar mengatakan, Indonesia harus mampu melampaui keunggulan kompetitor dalam persaingan menarik investor dan mendongkrak ekspor.
Menurut Sanny, yang juga Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia, ada sejumlah kawasan industri di China yang berminat mengembangkan kawasan industri di Indonesia. ”Kita perlu mengupayakan agar dapat menampung relokasi industri dari China. Strategi yang paling tepat, sama-sama membangun kawasan industri,” katanya.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan, realisasi investasi per akhir triwulan I-2019 sebesar Rp 195,1 triliun. Nilai itu terdiri dari penanaman modal asing (PMA) Rp 107,9 triliun dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp 87,2 triliun.
Bergerak cepat
Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mendorong pemerintah untuk bergerak cepat mengantisipasi perang dagang AS-China. Reformasi perizinan dan perbaikan kemudahan berusaha harus dilanjutkan untuk menarik investasi berorientasi ekspor.
”Kontak langsung dengan investor potensial yang mau pindah dari China. Apa yang mereka butuhkan? Pemerintah harus gerak cepat,” kata Febrio.
Ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro, berpendapat, pertumbuhan investasi perlu dijaga, terutama PMA. Untuk mengantisipasi dampak tekanan global akibat perang dagang, investasi berorientasi ekspor dan masuk dalam rantai pasok dunia mesti menjadi prioritas.
Adapun dalam jangka pendek dapat mencari negara-negara tujuan baru ekspor.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, mengimbau pemerintah untuk merealisasikan 16 paket kebijakan ekonomi. Realisasi ini penting karena dapat menunjang kemudahan berbisnis di Indonesia dan menjadi daya tarik bagi investor. (DIM/KRN/JUD/CAS)