Jalur perdagangan internasional antara Bitung, Sulawesi Utara, dan Davao, Filipina, yang telah dibuka pada 2017, kini dihidupkan kembali. Upaya ini dapat memotong biaya logistik ekspor komoditas dari Sulut dan Indonesia timur.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Jalur perdagangan internasional antara Bitung, Sulawesi Utara, dan Davao, Filipina, yang telah dibuka pada 2017, kini dihidupkan kembali. Upaya ini dapat memotong biaya logistik ekspor komoditas dari Sulut dan Indonesia timur.
Hal ini menjadi inti pertemuan Gubernur Sulut Olly Dondokambey dengan Konsul Jenderal Filipina Oscar Orcine, di Manado, Sulut, Jumat (17/5/2019). Dalam pertemuan tertutup sekitar 30 menit, kedua pihak menyepakati prospek pembukaan kembali jalur perdagangan Bitung-Davao yang akan diisi dua kapal milik Reefer, perusahaan perkapalan asal Filipina.
”Ini untuk menindaklanjuti jalur Davao-Bitung dengan kapal Ro-Ro (roll on roll off) yang telah dimulai pada 2017. Paling lambat Juli, jalur perdagangan ini sepenuhnya terealisasi,” kata Olly.
Adapun Oscar mengapresiasi keseriusan Olly yang menjanjikan pelayaran pertama (soft sailing) pada pertengahan Juni. Ia yakin inisiatif di bawah payung Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) ini dapat meningkatkan volume perdagangan kedua negara.
Merajut konektivitas
”Pemerintah Filipina juga serius dalam merajut kembali konektivitas maritim Bitung dengan Davao. Jalur ini tidak hanya menguntungkan pengusaha, tetapi juga produsen-produsen komoditas ekspor Sulut, seperti jagung, kopra, semen, dan produk-produk perikanan. Pendapatan small people (wong cilik) di Sulut akan meningkat sesuai visi Presiden Joko Widodo,” tutur Oscar.
Dua kapal peti kemas (general cargo) milik Reefer berkapasitas 250 TEU (peti kemas ukuran 20 kaki) atau 10.000 ton direncanakan berlayar di jalur tersebut sekali tiap dua pekan. Jika semakin banyak eksportir kedua negara yang tertarik memanfaatkannya, kata Oscar, tidak tertutup kemungkinan peningkatan frekuensi pelayaran setiap pekan.
Sekretaris Eksekutif BIMP-EAGA di Sulut Shelley Sondakh mengatakan, saat ini Filipina memberikan lebih banyak insentif bagi barang dari Indonesia ketimbang sebaliknya. Dialog antara Olly dan Oscar dimaksudkan untuk membuat hubungan dagang lebih seimbang. Olly akan menyampaikan usulan-usulan Oscar dan dunia usaha kepada Presiden Jokowi.
Pemerintah Filipina juga serius dalam merajut kembali konektivitas maritim Bitung dengan Davao. Jalur ini tidak hanya menguntungkan pengusaha, tetapi juga produsen-produsen komoditas ekspor Sulut, seperti jagung, kopra, semen, dan produk-produk perikanan. Pendapatan small people (wong cilik) di Sulut akan meningkat sesuai visi Presiden Joko Widodo.
”Filipina sudah memberikan insentif potongan biaya pelabuhan, seperti port dues (labuh tambat) dan handling peti kemas hingga 50 persen. Indonesia diminta melakukan hal yang sama, misalnya dalam hal bea cukai, imigrasi, dan karantina. Jika ada fasilitas, pengusaha akan semakin semangat mengekspor,” katanya.
Jalur Bitung-Davao juga dapat memperlebar cakupan ekspor Indonesia hingga ke Ho Chi Minh City, Vietnam, serta negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea, dan China. Tidak tertutup pula kemungkinan perusahaan Indonesia, seperti PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), mengisi rute tersebut.
Pada 30 April 2017, Presiden Jokowi dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte meresmikan jalur perdagangan Davao-General Santos-Bitung di Pelabuhan Kudos, Davao. Namun, tidak ada lagi kapal yang berlayar ke Bitung setelah kapal pertama kembali ke Davao.
Penyebabnya adalah kekurangan berat muatan ekspor dan perbedaan aturan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian mengenai impor (Kompas, 20 November 2017).
Potong biaya
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, produk nonmigas Sulut yang diekspor melalui Pelabuhan Bitung selama Januari-Maret 2019 mencapai 86,39 juta dollar AS. Adapun ekspor melalui Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta) dan Tanjung Perak (Surabaya) mencapai 54,6 juta dollar AS.
AS menjadi tujuan utama dengan nilai ekspor 38 juta dollar AS. Singapura menempati peringkat kedua dengan nilai 32,83 juta dollar AS, sedangkan China menempati posisi ketiga dengan nilai ekspor 29,3 juta dollar AS.
Ketua BIMP-EAGA Business Council sekaligus Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Sulut Daniel Pesik mengatakan, pelayaran dari Bitung ke Davao dapat memangkas biaya logistik. Selama ini, barang ekspor dari Bitung harus dikirim ke Makassar, Surabaya, atau Jakarta terlebih dahulu sebelum dibawa ke Davao. Waktu yang dibutuhkan 3-5 minggu.
”Jarak dari Bitung ke Davao hanya 350 nautical mile. Waktu tempuh hanya sekitar 30 jam atau sehari-semalam lebih sedikit,” kata Daniel.
Hal ini dinilainya dapat benar-benar menjadikan Bitung sebagai pelabuhan hub internasional, terutama untuk Sulut. Produk-produk utama yang akan diekspor adalah jagung, kopra, sayuran, dan produk perikanan.
Peluang ekspor semen ke Filipina pun besar sebab Pemerintah Filipina sedang membangun infrastruktur secara masif di Mindanao, Filipina. Sulut telah memiliki pabrik semen Conch. Adapun baju-baju Muslim juga diminati di Mindanao yang mayoritas warganya beragama Islam.
”Nantinya, bukan hanya produk dari Sulut yang diekspor, melainkan juga jagung dari Sulawesi Selatan dan baju-baju dari Jawa Timur, bahkan dari Tanah Abang (Jakarta),” ujar Daniel.
Shelley menambahkan, ekspor barang-barang dari daerah Indonesia timur lainnya, seperti kopra dari Maluku Utara, juga bisa meningkat. Sulut juga akan berpeluang meningkatkan pemasukan daerah jika barang dari daerah lain masuk ke terminal peti kemas di Pelabuhan Bitung.
Nantinya, bukan hanya produk dari Sulut yang diekspor, melainkan juga jagung dari Sulawesi Selatan dan baju-baju dari Jawa Timur, bahkan dari Tanah Abang (Jakarta).
Adapun produk Filipina yang dijual ke Indonesia meliputi pakan ternak, pupuk, bahan bangunan, produk es krim, unggas, dan buah segar (Kompas, 20 November 2017).