Bekas Kadis PUPR Kota Pasuruan Dihukum 5 Tahun Penjara
Bekas Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Pasuruan Dwi Fitri Nurcahyo divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 2 bulan kurungan. Terdakwa terbukti korupsi melibatkan korporasi baik sendiri maupun bersama-sama dengan Wali Kota Pasuruan nonaktif Setiyono.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Bekas Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Pasuruan Dwi Fitri Nurcahyo divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 300 juta, subsider 2 bulan kurungan. Terdakwa terbukti korupsi melibatkan korporasi baik sendiri maupun bersama-sama dengan Wali Kota Pasuruan nonaktif Setiyono.
Vonis dibacakan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya yang diketuai I Wayan Sosiawan dalam sidang lanjutan, Jumat (17/5/2019). Dalam amar putusannya, terdakwa juga dipidana membayar uang pengganti sebesar Rp 80 juta subsider 3 bulan kurungan.
Pada saat yang sama, majelis hakim juga membacakan vonis terhadap Wahyu Tri Hardianto, bekas anak buah Dwi Fitri yang menjadi perantara suap. Wahyu divonis dengan hukuman minimal, yakni 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider sebulan kurungan.
Vonis itu hampir sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 12 Huruf b Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Majelis hakim juga mengakomodasi dakwaan jaksa dalam materi putusannya.
Wahyu Tri Hardianto, bekas anak buah Dwi Fitri yang menjadi perantara suap, divonis dengan hukuman minimal, yakni 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider sebulan kurungan.
Setelah dilantik menjadi Wali Kota Pasuruan, Setiyono langsung mengumpulkan tim sukses saat mencalonkan diri, Kepala Dinas PUPR Dwi Fitri, dan pengusaha yang mendukungnya saat pilkada. Pertemuan itu menginventarisasi proyek pekerjaan di lingkungan pemda dan pengaturan pemenang lelang.
Dwi Fitri membagikan daftar hasil pengaturan pekerjaan kepada ketua asosiasi pengusaha rekanan dan menyampaikan setiap pemenang lelang wajib memberikan uang komitmen untuk Setiyono. Nilai komitmen itu sebesar 5 persen untuk pekerjaan jalan dan bangunan gedung serta 7,5 persen untuk pekerjaan pelengsengan dan saluran air.
Uang dari pengusaha rekanan untuk Setiyono sebagian dikumpulkan melalui Dwi Fitri dan sebagian diterima langsung. Uang setoran dari pengusaha rekanan yang dibawa oleh Dwi Fitri tidak semuanya diserahkan kepada Setiyono. Ada sebagian yang digunakan untuk biaya operasional dinas dan kepentingan pribadi.
I Wayan Sosiawan mengatakan, majelis hakim sebenarnya ingin meringankan vonis terhadap Wahyu atas pertimbangan hukum ataupun kemanusiaan. Alasannya, terdakwa kooperatif, jujur selama persidangan, serta telah mengembalikan seluruh uang yang diterimanya. Terdakwa merupakan tenaga honorer di Pemkot Pasuruan.
Namun, majelis terbentur oleh konstitusi sebab terdakwa yang terbukti melanggar Pasal 12 Huruf b dipidana dengan pidana paling sedikit 4 tahun penjara. Wayan khawatir, apabila majelis menjatuhkan vonis di bawah ketentuan perundangan, hal itu tidak saja melanggar konstitusi, tetapi juga mendapat prasangka buruk.
Berkonsultasi
Mendengar penjelasan majelis hakim, para terdakwa pun berkonsultasi dengan kuasa hukum masing-masing. Hasilnya, kedua terdakwa memutuskan menerima seluruh amar putusan majelis hakim dan tidak akan mengajukan banding.
Sebaliknya, jaksa pada KPK, Taufiq Ibnugroho, menyatakan pikir-pikir meski majelis hakim mengabulkan seluruh tuntutannya. Alasannya, dia harus menyampaikan putusan tersebut kepada Ketua KPK dan mengonsultasikannya, apakah menerima atau mengajukan banding.
Pada sidang Senin (13/5/2019), Wali Kota Pasuruan nonaktif Setiyono dipidana 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan. Terdakwa terbukti menerima suap dari pengusaha rekanan yang mengerjakan proyek pembangunan di Kota Pasuruan dengan nilai akumulatif Rp 2,59 miliar.
Selain pidana badan, terdakwa juga dipidana membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 2,26 miliar serta dicabut haknya untuk dipilih dalam jabatan publik ataupun jabatan politik selama tiga tahun. Terhadap putusan tersebut, Setiyono menyatakan pikir-pikir.