Pada 16 Desember 2018, Indonesia menandatangani Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif (CEPA) dengan empat negara anggota Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA). Keempat negara itu ialah Swiss, Liechtenstein, Eslandia, dan Norwegia.
Negara-negara di Eropa menarik untuk tetap dilirik dalam upaya meningkatkan perdagangan dan investasi. Apalagi, nilai perdagangan Indonesia dengan keempat negara itu masih kecil.
Dari data Badan Pusat Statistik yang diolah Kementerian Perdagangan, total nilai perdagangan Indonesia dengan empat negara itu pada 2018 sebesar 1,79 miliar dollar AS. Total nilai ekspor 732,8 juta dollar AS dan total impor 1,06 miliar dollar AS. Defisit neraca perdagangan 331,9 juta dollar AS.
Namun, peningkatan volume perdagangan dengan negara-negara anggota EFTA bukan satu-satunya tujuan. Kerja sama RI-EFTA CEPA dinilai perlu untuk meningkatkan investasi. Investasi dari negara-negara di Eropa, terutama anggota EFTA, dapat menjadi salah satu andalan Indonesia di masa mendatang, terutama sektor energi baru dan terbarukan (EBT), kesehatan, kelautan dan perikanan, serta teknologi permesinan.
Sebagai negara kecil dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak, keempat negara itu bisa disebut negara kaya. Produk domestik bruto (PDB) Swiss 678,9 miliar dollar AS (2017), Liechtenstein sebagai negara kecil di Eropa memiliki PDB 6,21 miliar dollar AS (2016), PDB Norwegia 399,4 miliar dollar AS (2017), dan Eslandia 24,4 miliar dollar AS (2017).
Akan tetapi, investasi dari negara-negara anggota EFTA saat ini masih kecil. Sebagai gambaran, berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, realisasi investasi Swiss di Indonesia pada 2018 sebesar 243,2 juta dollar AS dan Norwegia 17,20 juta dollar AS. Nilai ini lebih rendah daripada negara-negara Eropa lain, seperti Kepulauan Virgin Britania Raya 1,04 miliar dollar AS, Belanda 943,1 juta dollar AS, dan Jerman 280,4 juta dollar AS.
Usaha untuk mengundang investasi dari EFTA atau negara-negara di Eropa memang tidak mudah. Dalam kunjungan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita ke negara-negara anggota EFTA pekan lalu, misalnya, terungkap, mereka mempertanyakan masalah kebijakan pajak berganda.
Sebagaimana ditekankan Presiden Joko Widodo, ada masalah perizinan yang ruwet serta kualitas sumber daya manusia birokrasi pemerintah yang belum berubah.
Dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional 2019, Presiden Joko Widodo mengungkapkan, Indonesia berpeluang menjadi empat besar atau lima besar negara dengan ekonomi terkuat di dunia. Namun, untuk mencapai hal itu, banyak tantangan yang mesti dituntaskan.
Selain terus melanjutkan pembangunan infrastruktur secara merata serta reformasi struktural dan birokrasi, Presiden Joko Widodo juga menegaskan akan meninggalkan pola-pola kerja dan tradisi lama yang memperumit birokrasi selama ini (Kompas, 10/5/2019). Salah satu hal yang memperumit birokrasi di Indonesia adalah mata rantai perizinan usaha. Jangankan investor besar dari negara-negara besar yang ingin berinvestasi, pelaku usaha berskala kecil dan menengah di dalam negeri saja juga masih menghadapi masalah keruwetan izin usaha dan investasi.
Pemerintah memang sudah menerapkan sistem pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS) sebagai terobosan. Namun, penerapan OSS kurang optimal jika tidak didukung perangkat sistem perizinan dan kualitas sumber daya manusia yang berpikiran maju dan profesional di daerah-daerah.
Oleh karena itu, program peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak cukup hanya untuk calon tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan atau vokasi. Perlu juga menyentuh aparat birokrasi. (Ferry Santoso)