Suasana politik yang dinamis terasa di tengah proses rekapitulasi suara hasil Pemilu 2019. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan jiwa ksatria dan pendekar seperti yang ditulis Prabowo di laman Facebook-nya hampir lima tahun lalu.
”Sejak awal saya katakan, pesaing kita adalah saudara kita juga. Memang ada pihak-pihak yang penuh kebencian, prasangka buruk, keserakahan, dan jiwa yang curang. Tapi ingat, dari awal, saya menganjurkan kepada pendukung saya, sahabat-sahabat saya, apa yang saya tuntut dari diri saya sendiri, yaitu berjiwalah sebagai seorang kesatria, seorang pendekar.”
Kutipan di atas adalah bagian dari pesan yang diunggah calon presiden Prabowo Subianto di laman Facebook-nya pada 17 Oktober 2014. Prabowo menulis pesan itu beberapa saat selepas ia bertemu Joko Widodo, lawan politiknya di Pemilihan Presiden 2014. Saat itu, Jokowi sudah ditetapkan sebagai pemenang pilpres dan akan dilantik sebagai Presiden RI periode 2014-2019.
Dalam pesannya, Prabowo meminta para pendukungnya memahami sikap yang ia ambil. ”... Seorang pendekar, seorang kesatria harus tegar, harus selalu memilih jalan yang baik, jalan yang benar. Menghindari kekerasan sedapat mungkin. Menjauhi permusuhan dan kebencian,” tulis Prabowo.
Pertemuan Prabowo dan Jokowi saat itu dinantikan banyak pihak guna mendinginkan suasana pascakontestasi di antara mereka.
Sebelumnya, Prabowo memprotes hasil pemilu. Pada 22 Juli 2014, Prabowo yang saat itu berpasangan dengan Hatta Rajasa menyatakan menolak hasil pilpres karena menilai pilpres dilaksanakan dengan tidak demokratis, tidak adil, dan tidak terbuka. Ia juga menginstruksikan para saksi dari pasangan Prabowo-Hatta agar menarik diri dari proses rekapitulasi suara di KPU (Kompas, 22/7/2014).
Prabowo pun menempuh jalur hukum, yaitu mengajukan sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, saat itu MK menyatakan tidak menemukan bukti kecurangan dan menolak permohonan Prabowo-Hatta Rajasa.
Tahun ini, lima tahun kemudian, Prabowo kembali berhadapan dengan Jokowi di pilpres. Dalam acara ”Mengungkap Fakta Kecurangan Pilpres 2019” pada 14 Mei 2019, Prabowo juga kembali menyatakan menolak hasil penghitungan suara yang menurut dia dilakukan secara curang. Namun, kini sejumlah elite di Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno mengatakan, Prabowo-Sandi tak akan mengajukan gugatan ke MK.
Berkaca pada pengalaman 2014, BPN menilai proses hukum ke MK sia-sia dan tidak efektif. Seiring dengan itu, sejumlah pendukung Prabowo menyuarakan people power untuk memprotes hasil pemilu.
Hukum
Dalam acara bincang Satu Meja yang ditayangkan di Kompas TV pada Rabu (15/5/2019), mantan Hakim Agung Gayus Lumbun mengatakan, dalam negara hukum, hukum bersifat erga omnes, yang berarti harus ditaati semua orang. Dalam konteks pemilu, jika kandidat menemukan ketidakpuasan dan kecurangan, ada mekanisme yang sudah diatur, yaitu mengajukan gugatan ke MK.
”Hukum menentukan segalanya, dan sebagai erga omnes, tidak boleh ada orang yang menentang itu. Ikuti saja tahapan dan proses hukum jika ada yang tidak memuaskan,” kata Gayus dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu.
Turut hadir sebagai narasumber dalam acara ini Penasihat Senior Human Rights Working Group Rafendi Djamin, ahli psikologi forensik Reza Indragiri, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Amin Ahmad Basarah, dan Juru Bicara BPN Prabowo-Sandi Ardy Mbalembout.
Ardy mengatakan, berbagai aksi protes para pendukung Prabowo-Sandi merupakan wujud ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan proses pemilu. Namun, aksi people power tidak perlu diartikan sebagai makar.
”Kami di BPN juga tidak setuju makar. Bedakan antara makar dan mengeluarkan pendapat yang berbeda,” tutur Ardy.
Menanggapi hal itu, Basarah mengatakan, jika tidak puas terhadap hasil pemilu, ada jalur hukum yang bisa ditempuh, yaitu lewat Bawaslu maupun ke MK.
“Norma hukum kita sudah memberi saluran, itu yang seharusnya dipakai, bukan cara-cara yang bertentangan dengan aturan main,” katanya.
Sementara itu, Reza Indragiri mengamati, kini masyarakat tengah menghadapi post election stress disorder atau gangguan stress pasca pemilu akibat perasaan tidak menentu dan gelisah menyikapi perubahan politik.
“Tanda-tandanya adalah menguapnya rasionalitas. Ada yang mengekpresikan rasa frustasi dengan pasif dan menghindari informasi politik sepenuhnya, ada juga yang mengungkapkannya dalam bentuk ungkapan agresif, yang berujung pada sejumlah penangkapan akhir-akhir ini,” jelas Reza.
Kini masyarakat tengah menghadapi post election stress disorder atau gangguan stress pasca pemilu akibat perasaan tidak menentu dan gelisah menyikapi perubahan politik
Dalam kondisi sosial psikologis masyarakat yang kini terbelah dan resah tersebut, para elite politik dan tokoh masyarakat punya tugas dan tanggung jawab untuk terus menjaga kesejukan. Terkait hal itu, semua persoalan yang ada, mesti diusahakan diselesaikan lewat mekanisme yang disediakan oleh hukum dan konstitusi.
“Kalau para pemimpin terus menarasikan bahasa perang, potensi konflik akan besar. Semua perlu cooling down,” kata Rafendy Djamin.
Pada akhirnya, dinamika yang terjadi beberapa hari ke depan akan menentukan. Satu hal yang pasti, bangsa ini membutuhkan sosok yang berjiwa ksatria, seorang pendekar, seperti yang ditulis Prabowo di laman facebook-nya, hampir lima tahun silam.