Pelaksanaan Gerakan Literasi Nasional di masyarakat masih menghadapi banyak hambatan karena pendekatan yang masih parsial. Para pegiat literasi, baik di sekolah maupun di masyarakat, umumnya berjalan sendiri-sendiri.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan Gerakan Literasi Nasional di masyarakat masih menghadapi banyak hambatan karena pendekatan yang masih parsial. Para pegiat literasi, baik di sekolah maupun di masyarakat, umumnya berjalan sendiri-sendiri sehingga pengaruh gerakan literasi terhadap peningkatan minat membaca dan kecakapan menganalisis informasi berdasarkan akurasi belum berkembang signifikan.
”Dari pengalaman para guru pegiat literasi, masih banyak yang dibebankan hanya kepada guru Bahasa Indonesia. Itu pun belum semuanya memiliki persepsi yang sama terhadap arti dan penerapan literasi di sekolah,” kata Yeni Sulistiyani, guru Bahasa Indonesia SMPN 1 Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (16/5/2019). Ia adalah salah satu pegiat Gerakan Literasi Nasional (GLN) sejak dicanangkan pada tahun 2017 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Hasil penelitian Perpustakaan Nasional tahun 2017 menunjukkan, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata 3-4 kali per minggu dengan lama waktu membaca per hari rata-rata hanya 30-59 menit. Adapun jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku.
Kelemahan utama GLN di sekolah ialah kurang mampunya guru membaca teks. Kasus yang kerap ditemukan adalah guru sangat bergantung pada buku teks dan hanya melakukan pemelajaran berdasarkan tema yang ditentukan buku itu. Padahal, buku teks adalah pedoman standar minimal dan guru hendaknya memperkaya materi dengan mencari tambahan materi yang relevan dengan setiap topik pembahasan.
Kelemahan utama GLN di sekolah ialah kurang mampunya guru membaca teks.
Yeni mengatakan, apabila hanya menggunakan buku teks, pelajaran Bahasa Indonesia sangat kaku, yaitu belajar satu topik seperti menulis paragraf deskripsi lalu setelah itu pindah ke topik berikutnya. Teks yang ada di buku pelajaran hanyalah contoh-contoh singkat yang tidak bisa mewakili pemelajaran literasi secara holistik.
”Banyak kejadian guru ketika memberi contoh teks kepada siswa dengan cara mengambil dari buku pelajaran ataupun internet. Ini tidak adil karena siswa disuruh menulis dari awal, sementara guru tinggal mencaplok,” tutur Yeni.
Kendala bertambah ketika guru-guru mata pelajaran lain belum melihat literasi sebagai hal yang penting di dalam penyampaian materi. Pemahaman yang diketahui ialah sebatas literasi merupakan kewenangan pelajaran Bahasa Indonesia meskipun ujian nasional dan ujian tulis berbasis komputer jelas membuktikan bahwa di semua mata pelajaran kini tidak lagi bersifat pertanyaan langsung.
Pola belajar berbasis penalaran (high order thinking skills/HOTS) menekankan semua materi mendidik siswa untuk memahami dan memaknai konsep. Kemampuan siswa dan guru untuk mencari informasi, memilah informasi yang akurat dan relevan, memilih informasi yang tepat guna dengan pembahasan, memahami, menganalisis, serta berpendapat sangat dibutuhkan.
Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pegiat literasi di Lampung, lanjut Yeni, adalah mendekati kios-kios fotokopi untuk menjual buku-buku bacaan kepada siswa. Rupanya antara lain adalah kumpulan cerpen, novel, buku motivasi, dan biografi. Pendidikan literasi tidak efektif jika tidak ada bahan bacaan yang tersedia di masyarakat di luar buku pelajaran.
Koordinasi
Guru Besar Bahasa Indonesia Universitas Negeri Padang Atma Zaki yang juga salah satu pengembang GLN mengakui belum terintegrasinya gerakan ini di lapangan. Pada prinsipnya, untuk enam jenis literasi, yaitu membaca, menulis, sains, digital, numerasi, finansial, juga budaya dan kewarganegaraan harus dilakukan di sekolah dan komunitas masyarakat.
”Peran kepala sekolah sebagai koordinator sangat penting untuk memastikan semua guru punya pemahaman dan visi yang sama,” ujarnya. Di dalamnya berarti perlu ada pengarahan agar guru-guru tidak menganggap literasi sekadar membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai dan adanya komitmen menyisihkan dana bantuan operasional sekolah untuk membeli berbagai bahan bacaan.
Lemahnya literasi juga menjadi penyebab ketidakpahaman masyarakat Indonesia terhadap sains yang mengakibatkan kepedulian kepada pelestarian lingkungan kurang. Ketua Akademi Ilmuwan Muda Indonesia Alan Koropitan menjabarkan, daya tarik emosional lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada fakta yang obyektif, turut memengaruhi penerimaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan. (Kompas, 13 Mei 2019)