Siasat Mal Menjaga Relevansi
Berita penutupan gerai-gerai ritel tidak lantas memupus semangat para pelaku usaha. Mereka justru tetap merasa optimistis bahwa toko fisik akan tetap eksis.
Gap, Abercrombie & Fitch, dan Payless Shoe Source adalah beberapa merek global yang baru mengumumkan penutupan puluhan gerai fisik. Penutupan ini menambah keriuhan di tengah meningkatnya tren belanja secara daring. Pemilik mal perlu bersiasat agar bertahan.
Hiruk-pikuk penutupan gerai ritel lokal sebenarnya juga terdengar di Indonesia. Sejumlah toko serba ada (department store), seperti PT Hero Supermarket Tbk dan PT Matahari Department Store Tbk, telah melaporkan penutupan gerai di sejumlah mal besar. Berita penutupan gerai-gerai ritel tersebut tidak lantas memupus semangat para pelaku usaha. Mereka justru tetap merasa optimistis bahwa toko fisik akan tetap eksis.
Beberapa waktu lalu, Litbang Kompas melakukan survei kuantitatif bertajuk ”Shopping Trend at A Glance” (Tren Belanja secara Umum). Survei dilakukan selama 23-25 April 2019 terhadap 544 responden yang berdomisili di area Jabodetabek. Metode ini diperkirakan memiliki simpang kesalahan lebih kurang 4,6 persen.
Berdasarkan survei Litbang Kompas, 87,7 persen masih memilih pusat perbelanjaan atau mal sebagai tempat berbelanja. Sebanyak 12,3 persen lainnya lebih memilih untuk berbelanja secara daring. Jumlah penurunan minat berbelanja ke mal hanya sekitar 3 persen jika dibandingkan dengan hasil survei serupa yang dilakukan Kompas pada 2017.
Persoalan itu terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan harian Kompas bersama Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) di Jakarta, Kamis (2/5/2019).
Kendati demikian, ada temuan yang perlu menjadi sorotan. Ketika responden dibagi menurut kelompok umur, sebanyak 31,8 persen anak muda kelompok usia 17-24 tahun menyatakan preferensi untuk berbelanja secara daring.
Kelompok usia tersebut memiliki preferensi terbesar untuk berbelanja secara daring dibandingkan dengan kelompok usia lain. Preferensi berbelanja secara daring terendah berada pada kelompok usia 45 tahun sebesar 8,1 persen.
Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah secara terpisah mengatakan, tren belanja daring paling menampar pertumbuhan bisnis ritel kategori toko serba ada, yaitu department store dan supermarket.
”Tren belanja saat ini adalah anak muda tidak mau repot, tetapi barang yang dipilih harus berarti. Supermarket tidak lagi diminati karena minimarket lebih praktis. Sementara itu, department store yang menyediakan barang secara massal tidak lagi laku,” kata Budihardjo.
Ketua Umum APPBI A Stefanus Ridwan menyampaikan, keberadaan mal akan selalu relevan ketika mal dapat beradaptasi dengan perubahan pola konsumsi masyarakat. Saat ini, konsumsi masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh keinginan untuk mengeksplorasi dan merasakan pengalaman yang menyentuh.
Kembali merujuk hasil survei Litbang Kompas, semua kelompok usia responden melaporkan tujuan pergi ke mal untuk berjalan-jalan, mengalahkan tujuan lainnya untuk berbelanja, makan, dan tempat anak bermain. Secara berturut-turut, besaran preferensi untuk berjalan-jalan berdasarkan kelompok umur adalah usia 17-24 tahun (40,9 persen), 25-34 tahun (31,3 persen), 35-44 tahun (31,1 persen), dan 45 tahun ke atas (29,1 persen).
Untuk itu, lanjut Stefanus, mal-mal perlu menerapkan berbagai strategi untuk menjaga relevansi bagi pelanggan lama sekaligus pelanggan baru. Pertama, mal dapat memperbaiki desain ruang dengan menciptakan area-area menarik.
”Generasi milenial itu paling suka jalan-jalan bersama teman. Mereka senang berburu tempat bagus yang instagramable sehingga foto mereka akan menarik ketika diunggah ke media sosial,” ujarnya.
Strategi kedua, menurut dia, adalah agar para pemilik toko (merchant) meningkatkan kualitas pelayanan. Faktor utama dalam pelayanan adalah meningkatkan pengalaman konsumen ketika mencoba produk.
Ketika sebuah produk riasan ditawarkan, misalnya, pelanggan dapat memperoleh kesempatan untuk langsung mencoba produk di tempat bersama dengan ahli riasan. Atau, ketika pelanggan ingin makan, restoran memiliki dapur terbuka sehingga proses memasak dapat langsung terlihat.
Ketiga, pemilik toko harus memperbaiki metode pemasaran. Pemasaran secara omnichannel atau pendekatan kepada konsumen menggunakan berbagai saluran, seperti toko fisik, internet, dan e-dagang, perlu terus ditingkatkan.
”Semua toko sebaiknya memiliki situs dan aplikasi sehingga dapat mempromosikan brand dari situ. Sekarang konsep online-to-offline (O2O) atau daring ke luring harus digunakan,” katanya.
Strategi pengelola
Stefanus melanjutkan, selain pemilik toko, para pengelola pusat perbelanjaan juga dituntut untuk beradaptasi agar bisnis tetap hidup. Dari 322 anggota yang dimiliki APPBI, setidaknya baru sepertiga yang benar-benar siap untuk berinovasi.
Salah satu langkah inovasi yang dilakukan adalah mengubah komposisi jenis penyewa area (tenant). Mal-mal kini menambah jumlah penyewa yang dapat menawarkan pengalaman lebih kepada konsumen, terutama di sektor makanan dan minuman serta hiburan. Selanjutnya, penyewa dengan produk yang menawarkan pengalaman secara terbatas, seperti barang elektronik atau obat-obatan, mulai berkurang.
”Komposisi penyewa bidang makanan dan minuman dalam satu mal sekarang bisa naik 20 persen hingga 30 persen. Padahal, dulu paling maksimal hanya sekitar 20 persen,” ujarnya.
Menurut Stefanus, para pengelola mal juga mulai menambah berbagai jenis hiburan. Selain bioskop dan tempat bermain untuk anak-anak, pengelola juga menambah layanan baru, seperti wahana trampolin dan tempat bermain seluncur es. Selain itu, mal juga mulai menyuguhkan pameran koleksi seni untuk dinikmati pengunjung.
Ketua APPBI Dewan Pengurus Daerah DKI Jakarta Ellen Hidayat menyampaikan, untuk mal di area Jakarta, komposisi penyewaan area bagi penyewa kategori hiburan (entertainment) setiap mal rata-rata naik dari 10 persen menjadi 15-20 persen. Perubahan komposisi ini telah terjadi selama tiga tahun terakhir.
Mal bahkan mulai menambah coworking space untuk menggaet anak muda. ”Salah satu mal yang telah menerapkan strategi itu adalah Baywalk Mall yang baru meluncurkan Inhype Commune Space,” kata Ellen, yang juga CEO Baywalk Mall, Jakarta Utara.
Tempat publik
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, berpendapat, mal harus mampu menjadi tempat bagi publik untuk berinteraksi (public space). ”Mal dengan konsep lama mulai ditinggalkan anak muda. Mal dengan tampilan dan layanan baru yang menawarkan pengalaman penting diterapkan agar bisa bertahan,” ucap Bhima.
Ia sepakat, perubahan komposisi jenis penyewa yang telah dilakukan pengelola mal merupakan langkah tepat untuk memulai konsep baru. Namun, perubahan tersebut masih belum signifikan. Sebaiknya, lanjutnya, komposisi penyewa bidang makanan dan minuman serta hiburan harus lebih dari 50 persen untuk setiap mal.
Perubahan komposisi ini merupakan solusi jangka panjang yang dapat mempertahankan relevansi mal. Hal ini karena strategi memberikan diskon guna menarik pelanggan yang selama ini diterapkan hanya merupakan solusi jangka pendek. Diskon produk di pusat perbelanjaan hampir pasti kalah dengan diskon produk dari para penjual daring.
Budihardjo Iduansjah berpendapat, keberadaan mal dan toko serba ada akan senantiasa dibutuhkan. Mal turut berkontribusi sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia. ”Kami menyediakan barang dengan kualitas terjamin bagi konsumen sekaligus patuh membayar pajak untuk penerimaan negara,” katanya.
Ellen Hidayat menambahkan, tidak hanya itu, mal juga berperan sebagai simbol kestabilan perekonomian Indonesia. Ketika mal tidak beroperasi, ujarnya, hal itu dapat menimbulkan keresahan publik karena mal merupakan tempat berinteraksi. Seyogianya peran mal bukan tempat berjualan semata. Mal adalah tempat untuk publik berinteraksi, merasakan pengalaman baru, dan berbagi rasa.
Pada 1991, Mike Featherstone dalam buku Consumer Culture and Postmodernism menulis: ”...di pusat perbelanjaan, mal, dan toko serba ada jarang terlihat bahwa berbelanja murni merupakan transaksi ekonomi kalkulatif untuk memperoleh kegunaan, tetapi sebenarnya lebih pada kegiatan kebudayaan waktu senggang…. Pendeknya, berbelanja harus menjadi sebuah pengalaman.”