Angklung Iringi Jejak Peradaban
Dari Kuningan, Jawa Barat, perjalanan angklung ke panggung dunia dimulai puluhan tahun lalu. Iramanya turut merawat perdamaian. Kini, alat musik bambu itu dimainkan generasi muda.
Finna Fitriani (17) tersenyum sambil menggetarkan angklung di tangannya. Ia bersama lebih dari 20 temannya, siswi SMAN 3 Kuningan, tampil dalam Festival Angklung Internasional di Waduk Darma, Kabupaten Kuningan, Minggu (28/4/2019). Festival yang digelar ketiga kalinya itu diikuti 270 peserta dari 40 sekolah dasar hingga menengah di Kuningan.
Finna dan teman-teman menyajikan lagu ”Warung Pojok” yang dipopulerkan bintang tarling Uun Kurniasih dan ”Beautiful in White”-nya Westlife. Penonton pun ikut bersenandung.
Finna yang tergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler seni dan budaya lokal khusus angklung, April lalu, juga pentas di pelepasan siswa kelas XII dan lomba jingle Pemilu 2019.
”Saya enggak pernah bosan main angklung. Kami ingin melestarikan alat musik Kuningan,” ujar Nindi Lutfia (17), teman Finna.
Popularitas angklung tak lepas dari jasa Daeng Soetigna (1908-1984), guru kesenian sekolah dasar Belanda di Kuningan. Soetigna adalah penggagas angklung diatonik berlaras do-re-mi-fa-sol-la-si pada 1938. Dengan laras itu, musik modern dapat dimainkan dengan angklung. Sebelumnya, angklung masih berlaras pentatonik da-mi-na-ti-la.
Soetigna belajar pada Jaya, pegiat karawitan. Di tangan Daeng, angklung naik daun. Angklung bahkan berperan mencairkan diplomasi dalam Perundingan Linggarjati di Desa Linggajati, Kecamatan Cilimus, Kuningan, 11-13 November 1946. Di sela perundingan yang dihadiri Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan pimpinan delegasi Belanda Willem Schermerhorn, seni angklung dipentaskan Daeng Soetigna.
Sukardi, pemandu wisata di Gedung Naskah Linggarjati, menuturkan, Soetigna bermain angklung di halaman depan gedung. Sayangnya, peristiwa bersejarah itu tak terekam dalam bentuk diorama dan foto.
Dalam paparannya saat Festival Linggarjati, pertengahan November 2015, ahli sejarah Rushdy Hoesein menyatakan, Presiden Soekarno meminta Soetigna bermain angklung pada jeda sidang. Iramanya turut meredakan ketegangan dalam perundingan.
”Saat itu Belanda belum rela melepas Indonesia,” kata Rushdy.
Meski hasil perundingan baru ditandatangani 25 Maret 1947, Perundingan Linggarjati menjadi salah satu upaya mempertahankan kemerdekaan. Dalam rangkaian perjuangan itu, angklung berperan.
Pada 1955, angklung kembali menggema pada jamuan makan malam delegasi Konferensi Asia Afrika di Bandung. Tahun 2010, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mengakui angklung sebagai warisan budaya tak benda.
Filosofi bambu
Bagi masyarakat Sunda Wiwitan di Kuningan, angklung dan alat musik bambu lainnya menjadi bagian filosofi hidup. Dewi Kanti Setianingsih (43), putri bungsu Pangeran Djatikusumah (86), sesepuh Sunda Wiwitan, mengatakan, bambu dalam bahasa Sunda adalah awi.
”Awi memiliki makna kesadaran asali (bersifat asal) atau wiwitan. Bambu tidak dapat disatukan dengan tanaman lain, seperti singkong, karena berbeda. Seperti itulah kesadaran asali. Kita mampu mengenali asal diri kita masing-masing dan saling menghormati,” ujar Dewi.
Angklung tidak bisa dipisahkan dari budaya berladang. Saat ritual adat Seren Taun di Kuningan, ada agenda pembuangan hama, bukan pemusnahan, di Situ Hyang. Saat itu, warga berjalan sambil menabuh bambu. Harapannya, pada masa tanam selanjutnya hama dapat dikendalikan.
Menurut Dadang Sudarsa (61), seniman sekaligus perajin angklung di Kuningan, pada 1990-an, angklung pentatonik dimainkan dalam pentas seni Reog Cengal bersama gong dan gendang.
Dadang merupakan murid Muhammad Satari, yang dikenal sebagai Pak Kucit, yang diyakini sebagai pembuat angklung pertama di Kuningan. Kucit merupakan singkatan dari Kuwu (kepala desa) Citangtu.
”Dulu, di desa ini ada dua perajin murid Pak Kucit. Sekarang, tinggal saya yang masih hidup,” ujar Dadang yang pandai membuat suling hingga terompet khas pencak silat. Ia memperkirakan, tersisa tiga perajin yang masih aktif membuat angklung di Kuningan.
Padahal, Kuningan kaya dengan pohon bambu yang tersebar di Cigugur, Maleber, dan Luragung. Pemerintah Kabupaten Kuningan membuat taman tematik khusus bambu di Kebun Raya Kuningan. Bambu untuk angklung harus berumur lebih dari dua tahun.
Bambu harus diambil pada bulan tertentu, yakni Februari-Juni. Sebelum perubahan iklim tak menentu seperti sekarang, saat itu biasanya musim kemarau. Dengan kadar air yang minim, kualitas angklung bakal lebih baik.
Dadang mengatakan, beberapa tahun terakhir, permintaan angklung dari Kuningan dan Cirebon meningkat. ”Saya pernah bikin 600 angklung. Dulu 1990-an paling banyak cuma 40 angklung. Mungkin perajinnya sekarang sudah tak banyak. Saya pernah membuka pelatihan pembuatan angklung gratis. Namun, tidak ada yang tertarik,” ujar Ketua Nayaga Kuningan tersebut.
Pendi (45), pendiri Sanggar Angklung Lumbu di Cigugur, berharap Pemkab Kuningan mendukung perajin angklung yang tinggal sedikit.
Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kuningan Jaka Chaerul mengatakan, pihaknya berupaya mengembangkan angklung dengan mencanangkan angklung sebagai kegiatan ekstrakurikuler sekolah hingga festival untuk menarik wisatawan. ”Namun, anggaran untuk pengembangan destinasi wisata hanya Rp 200 juta. Anggaran pariwisata keseluruhan Rp 4 miliar. Padahal, tahun 2017 Rp 22 miliar,” katanya.
Angklung Kuningan telah menorehkan sejarah untuk peradaban dunia. Ini menjadi alasan untuk tetap melestarikan angklung.