Benediktus Hang Menjaga Batas Seni Dayak Long Gliit
Kesenian dayak sudah menubuh dalam diri Benediktus Hang (38). Setiap makna dan nilai kehidupan dalam kesenian dayak sudah menjadi laku hidupnya. Ia mengabdikan diri untuk melatih tari tradisi anak-anak Dayak Long Gliit agar kelak mereka tumbuh dengan tetap menjaga hutan.
Oleh
Sucipto
·5 menit baca
Kesenian Dayak sudah menubuh dalam diri Benediktus Hang (38). Setiap makna dan nilai kehidupan dalam kesenian Dayak sudah menjadi laku hidupnya. Ia mengabdikan diri untuk melatih tari tradisi kepada anak-anak Dayak Long Gliit agar kelak tumbuh dengan tetap menjaga hutan.
Hang lahir dan menetap di Desa Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Sesuai namanya, desa ini berada di kabupaten yang berada di tepi Sungai Mahakam bagian hulu. Alam memberinya banyak pelajaran hidup. Hutan tempatnya berladang dan berburu. Sungai tempatnya mencari ikan untuk lauk.
Semua nilai itu terangkum dalam seni tradisi Dayak. Ia menyadarinya dalam setiap upacara adat yang ia ikuti. Ia tak pernah absen dalam setiap pertunjukan atau upacara adat. Selama melakoni kesenian tradisi sukunya itu, ia terilhami bahwa kesenian suku Dayak menyimpan pesan luhur.
”Tarian itu ada yang gerakannya seperti burung, katak, bahkan ikan. Kesenian Dayak itu seperti mengingatkan kami untuk damai dengan alam,” kata Hang ketika ditemui, Kamis (2/5/2019).
Hang belajar kesenian Dayak turun temurun dari generasi suku Dayak Long Gliit (dibaca Long Glaat) sebelumnya. Sebanyak 27 jenis tarian ia akrabi selama masa kecil hingga dewasa. Tak hanya itu, ia juga mahir memainkan berbagai alat musik suku Dayak, seperti sampek, gening, dan berbagai alat musik perkusi tradisional suku Dayak.
Hang mendirikan Sanggar Tari Pangiraan untuk memudahkan setiap orang yang ingin belajar seni tradisi Dayak di kampungnya. Di samping mengajarkan pemuda atau orang dewasa tari tradisi sebelum kegiatan adat, ia juga memutuskan untuk mengajar anak-anak di sekolah dasar satu-satunya di Long Tuyoq.
Sejak 2016, ia rutin mengajarkan tari kepada siswa di SDN 003 Desa Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu. Sehari dalam sepekan ia mengajarkan murid di sana kesenian tradisi Dayak yang ia kuasai.
Dalam mengajar tari, ia tak hanya mengajarkan anak didiknya untuk menguasai seni tradisi, tetapi memahami maknanya dan menjadikannya sebagai laku hidup. Sebab, menurut Hang, seni tradisi adalah pengejawantahan nilai-nilai hidup. Keindahan seni Dayak bukan hanya dari gerakannya, melainkan juga dari nilai-nilai yang meresap di dalamnya.
Ia mencontohkan, setiap bulan Juni, masyarakat Dayak di Desa Long Tuyoq membuka lahan untuk berladang. Ada prosesi adat yang perlu dilakukan. Ada tarian yang digunakan dalam prosesi tersebut, yakni tarian Mitang Lumaq atau Nebas Ladang.
Gerakan dalam tarian itu merupakan simbol bahwa masyarakat tak boleh tamak dalam mengelola alam. Membuka lahan dilakukan seperlunya agar anak cucu di desa itu masih bisa mengelola lahan yang ada. Dalam kepercayaan masyarakat di sana, jika tidak disertai niat tulus dalam membuka lahan, bisa membahayakan diri.
”Kalau tidak disertai prosesi dan niat baik, kami percaya nanti akan celaka, seperti bagian tubuh akan terkena parang saat membuka lahan,” ujar Hang.
Batas
Meski teknologi seperti gawai dan televisi sudah masuk di kampungnya, Hang tak ingin anak-anak meninggalkan nilai-nilai tradisi Dayak yang arif. Untuk itu, ia ingin menjadi penjaga batas antara modernitas dan tradisi.
Ia menilai teknologi penting untuk dipelajari dan diikuti, tetapi tak lantas meninggalkan nilai-nilai luhur seni tradisi Dayak. Ia ingin di mana pun anak-anak suku Dayak tumbuh dan berkembang tetap menjalani laku hidup yang selaras dengan alam.
”Nilai-nilai itu perlu dilestarikan di dalam diri masing-masing. Melalui kesenian, pesan-pesan itu terangkum,” ujar Hang.
Jika nama adalah doa, tampaknya doa orangtua Hang terwujud. Dalam bahasa Dayak Long Gliit, Hang bermakna batas di antara dua lahan. Dalam kehidupan Hang saat ini, ia menasbihkan diri sebagai penjaga batas yang sunyi di antara kemajuan zaman dan tradisi.
Hang tak pernah mengukir prestasi. Ia bekerja dalam sunyi di balik layar keberhasilan anak didiknya mengukir prestasi. Anak-anak didiknya menjuarai lomba tari di Kecamatan Long Pahangai tahun 2017. Hang turut senang dengan prestasi itu. Namun, baginya, prestasi bukan yang utama, melainkan meresapi nilai-nilai dari setiap gerakan tari Dayak adalah yang terpenting.
Hang berharap sekolah menjadi pusat transfer ilmu seni bagi anak-anak di Desa Long Tuyoq. Nilai-nilai dalam seni tradisi Dayak, menurut dia, tak boleh putus hanya pada generasi tua. Sekolah merupakan titik estafet nilai-nilai itu.
Desa Long Tuyoq, tempat Hang tinggal, hanya bisa dijangkau menggunakan perahu melalui Sungai Mahakam. Jalur darat belum bisa dilalui dengan nyaman sebab masih berupa tanah merah yang jika hujan sulit dilalui kendaraan.
Hutan yang menyelimuti desa ini, menurut Hang, perlu tetap lestari. Salah satu cara menanamkan nilai-nilai itu melalui kesenian yang mudah diterima banyak orang, apalagi anak-anak. Ia berharap, dalam setiap gerak tari anak-anak Dayak, menjadi pengingat bagi siapa saja agar mengetahui setiap batas dalam memanfaatkan alam.
”Semua kita dapat dari alam. Jangan rakus terhadap alam,” kata Hang tenang.
Dalam laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) Juni 2018 berujudul ”The State’s of World Forests: Forest Pathways to Sustainable Development”, keberadaan hutan ditaksir jadi solusi bagi setidaknya 10 dari 17 poin dalam tujuan pembangunan berkelanjutan. Hal itu menjadi pekerjaan rumah seluruh negara di bumi (Kompas, 28/7/2019).
Hang tak pernah membaca laporan itu. Membacanya saja mungkin tak pernah. Namun, apa yang Hang sudah lakukan seolah memberi dasar pemikiran kepada anak-anak di desanya untuk menjaga hutan. Ia tak menyampaikan dengan kata, ia resapkan nilai-nilai itu dalam setiap gerakan magis nan ritmis tarian Dayak.
Melalui tari, anak-anak diajak bijaksana dalam menjalani hidup di bumi. Melalui seni, ia seolah mengajak setiap orang untuk mengingat batas perbuatan. Hang yang tak lulus SMP itu telah melakukan kerja besar di dusunnya yang kecil.
Benediktus Hang
Istri: Kristina Ulo (31)
Anak:
- Shabastianus Ului (24)
- Antonia M Dom (20)
- Villanorius Creh (12)
Lahir: Desa Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, 17 Desember 1971
Pendidikan: SD Khatolik 002 Long Tuyoq (1979-1985), SMPN 01 Long Pahangai (1985-tidak tamat)