Bukan Buku Sejarah Biasa
Judul: Bayang-bayang Kebijaksanaan dan Kemanusiaan
Penulis: A Sudiarja
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: Tahun 2018
Tebal: xxviii + 292 hlm
ISBN: 978-602-412-502-8
Buku Bayang-bayang Kebijaksanaan dan Kemanusiaan tulisan Prof Dr A Sudiarja, yang akrab disebut Romo Dipo, guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, adalah buku istimewa. Buku ini terdiri atas dua puluh delapan cerita tokoh-tokoh sejarah.
Dua belas dari mereka adalah tokoh pemikir, di antaranya Raja Asoka, Thomas More, Antonio Gramsci, Immanuel Kant, Friedrich Nietzsche. Enam belas tokoh lain ada yang dikenal sebagai penulis, teolog, pejuang, bahkan pernah mengalami kekejaman perang saudara.
Karya Romo Dipo ini bisa disebut sebuah buku sejarah, tetapi bukan seperti buku sejarah yang pernah saya baca. Bukan buku sejarah biasa yang sekadar bercerita tentang kapan orangnya lahir dan kapan mati, apa yang dia lakukan, mengapa dia penting, apa yang dia tulis kalau dia orang ”intelek”. Buku karya Romo Dipo berbeda meskipun beberapa hal tadi juga ada di dalamnya.
Yang istimewa dari buku ini, kita mendapatkan sesuatu yang di buku sejarah lain tidak kita dapat. Kita diajak langsung terjun ke tengah-tengah pergulatan di hati dan keprihatinan tokoh-tokoh, cita-cita mereka, harapan mereka, kekecewaan dan keputusasaan mereka, serta perjuangan mereka. Kita seakan-akan melihat mereka tidak dari luar, dari perspektif pengamat, melainkan dari dalam mereka sendiri.
Romo Dipo kadang-kadang membiarkan mereka bicara sendiri, berpikir sendiri, mengeluh sendiri. Romo Dipo masuk ke dalam manusianya. Bukan hanya kebijaksanaan, tetapi juga kemanusiaan mereka sepertinya kita alami bersama dengan mereka. Kita ikut gembira, cemas, terpukul, khawatir, mau berjuang, merasakan tekad hati untuk bertanggung jawab, kesediaan untuk tidak dikalahkan, kasih mereka.
Ambil saja Platon, barangkali filsuf paling termasyhur segala zaman, tentangnya sudah ditulis ribuan buku dan karangan. Dalam buku ini ada dua tulisan tentang dia. Pada tulisan yang pertama kita langsung dibawa terjun ke tengah-tengah keterpukulan berat Platon waktu gurunya yang tercinta, Socrates, minum racun sebagai pelaksanaan hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya, karena, katanya, ia menyesatkan generasi muda ke ateisme.
Kok bisa, rasa Platon! Bersama Platon kita jadi mengingat betapa ajaran Socrates memberi rasa kebebasan baru kepada orang-orang muda. Secara sampingan kita juga jadi berkenalan dengan Socrates sendiri, sikapnya, ajarannya.
Dalam tulisan kedua, kita ikut deg-degan soal hubungan pasang surut Platon dengan Dionisios, raja tiran dari Siracusa. Platon pernah mau menjadi guru diktator itu. Dionisios sampai menjual Platon sebagai budak di pasar (untung ada teman Platon yang kebetulan lewat, lalu membeli dan membebaskannya, FMS). Kita saksikan bagaimana filsafat politik Platon yang termasyhur tumbuh dari pengalaman-pengalaman seperti itu.
Kisah-kisah itu mengharukan karena tidak terbatas pada data. Setiap dari dua puluh delapan cerita pantas dibaca dan direnungkan sendiri. Sudiarja sebenarnya seorang penyair. Penyair bukan dalam arti bahwa ia menulis syair, tetapi dalam kemampuannya menemukan tantangan-tantangan paling dasar kemanusiaan pada saat tokoh-tokoh yang diceritakan dalam buku berada dalam situasi terombang-ambing.
Bukan teori yang kita dapat, melainkan pengalaman, komunikasi, kekagetan, kekaguman, keragu-raguan, dan juga sering kepastian bahwa di belakang lika-liku yang membingungkan ada yang tidak mengizinkan kita tenggelam dalam keputusasaan.
Ambil kisah Heloise, kekasih Abelardus, salah seorang filsuf dan teolog terbesar dan paling berani di abad ke-11 M. Heloise menjadi mahasiswa Abelardus, dihamili olehnya, diam-diam mereka kawin, Abelardus kemudian dikebiri oleh pamannya, ia menyuruh Heloise masuk biara, padahal Heloise tetap cinta pada suaminya itu. Sekarang, Heloise dianggap salah satu tokoh pertama feminisme (halaman 51-57).
Kita juga mendapat seluruh kisah termasyhur Galileo Galilei, perintis ilmuwan Katolik. Gereja, yang merasa bahwa keyakinannya bertentangan dengan kitab suci, melarang Galilei menulis. Tetapi, Galilei mempertahankan terus pandangannya bahwa bukan matahari mengitari bumi, melainkan sebaliknya. Dan kita melihat bagaimana akhirnya Gereja mulai ”bertobat” sampai mengaku salah.
Pena Sudiarja membuat tokoh-tokoh itu hidup, kita ikut merasakan apa yang menggerakkan mereka. Misalnya, Boby Sands. Dia salah seorang pemimpin IRA, Irish Republican Army, yang melawan Inggris, yang ditahan tanpa lindungan hukum, yang puasa sampai ia, sesudah 60 hari, meninggal.
Ada Thomas Merton, Gibran Khalil Gibran, Leo Tolstoy. Sudiarja membawa pembaca ke tengah-tengah perang saudara di Lebanon, ke ”tebing Sungai Drina” di Bosnia di mana orang-orang Muslim disembelih, ke tengah genosida di Rwanda, ke Guatemala di mana dalam tahun 70-an abad lalu, militer yang didukung Amerika Serikat membunuh sekitar 200.000 penduduk suku Maya—suku dengan tradisi budaya luhur. Kita bertemu Augustinus, Anne Frank yang dibunuh oleh Gestapu Jerman, Mahatma Ghandi, tetapi juga Carolina penghuni favelo di Brasil.
Pendek kata, sebuah buku yang amat indah. Rekan Profesor Sudiarja, Dr Karlina Supelli, menulis kata pengantar yang sejiwa, yang sungguh pantas dibaca.
FRANZ MAGNIS-SUSENO
Rohaniwan; Mantan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara