Jejak-jejak hubungan Indonesia-Kamboja dapat ditelusuri terjalin sejak era Dinasti Syailendra. Relasi itu makin kuat, terasa bak saudara dekat, berkat peran Indonesia dalam mewarnai perjalanan sejarah Kamboja.
Sejak zaman Dinasti Syailendra berkuasa, hubungan Jawa dengan Kamboja telah terjalin, khususnya dengan bangsa Funan yang kelak melahirkan Kerajaan Angkor yang membangun kompleks Candi Angkor Wat. Pendiri imperium Khmer atau Angkor, Raja Jayawarman II (memerintah pada 790-835 M), diketahui pernah hidup di Jawa semasa Kerajaan Syailendra. Saat itu, pembangunan Candi Borobudur berada dalam tahap penyelesaian tahun 825 M.
Pada abad ketujuh, Raja Sanjaya dari Jawa berhubungan dengan para bangsawan Kerajaan Funan di Kamboja yang kekuasaannya meliputi sebagian Vietnam dan Thailand saat ini. Seorang keturunan Sanjaya, Wishnu (Panangkaranan), disebutkan menikah dengan putri dari Kerajaan Funan dan melahirkan keturunan yang kelak menjadi Raja Syailendra.
Adapun Kerajaan Angkor melahirkan mahakarya Candi Hindu Angkor Wat yang dibangun Raja Suryawarman II di akhir abad ke-12. Suryawarman adalah keturunan Jayawarman II. Candi Angkor Wat dipersembahkan bagi Dewa Wisnu. Sepintas lalu, banyak kemiripan antara Borobudur, Prambanan, dan Angkor Wat.
Dalam perjalanan waktu, Kamboja dan Jawa mengalami pergantian sistem kepercayaan Hindu dan Buddha yang berjalan secara damai. Kerajaan Khmer memeluk agama Buddha, sedangkan imperium di Jawa yang mencapai puncaknya pada masa Kerajaan Majapahit memeluk Hindu Dharma yang kini diteruskan di Pulau Bali.
Hubungan dua wilayah seolah terputus semasa kolonialisme Barat abad ke-16 hingga ke-20. Selepas Perang Dunia II yang diikuti kemerdekaan Indonesia tahun 1945, hubungan baik terjalin antara Presiden Soekarno dan Pangeran Norodom Sihanouk, penguasa Kerajaan Kamboja.
Bung Karno dan Pangeran Norodom sama-sama aktif di Gerakan Nonblok. Pangeran Norodom Sihanouk pun ikut dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955. Ia memimpin delegasi Kamboja berjalan kaki dari Hotel Savoy Homann ke Gedung Merdeka, tempat KAA dilangsungkan. Pangeran Norodom Sihanouk diketahui juga kerap berdansa dalam pertemuan khusus dengan Bung Karno di berbagai kesempatan.
Produser dan Editor B TV Kamboja, Mesa Sun, mengatakan, Kamboja dan Indonesia bak saudara dekat, seperti kakak-adik. ”Ini contohnya, lagu ’Bengawan Solo’ sangat populer di Kamboja. ’Bengawan Solo’ dengan lirik bahasa Khmer,” kata Mesa memainkan rekaman ’Bengawan Solo’ di ponsel pintar yang dibawanya.
Peran pendamai
Mesa Sun juga mengingatkan peran penting Indonesia dalam Perjanjian Damai Paris tahun 1991 yang mengakhiri perang saudara di Kamboja. Demikian pula kedatangan Pasukan Garuda sebagai bagian Pasukan Perdamaian PBB merupakan bagian penting sejarah Kamboja modern yang kini ekonominya berkembang pesat.
Presiden Soeharto pada akhir 1980-an secara khusus memerintahkan Menteri Luar Negeri Ali Alatas agar mendorong proses perdamaian di Kamboja. Saat itu, harian Kompas terlibat langsung dan melekat pada proses diplomasi yang dijalankan Ali Alatas dan Kementerian Luar Negeri RI.
Sok Serey Both, perwira dari Royal Cambodian Army, menambahkan, nama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat juga sangat populer di Kamboja. ”Pasukan khusus kami, Brigade 911, dilatih Kopassus TNI AD sampai sekarang. TNI dan Kopassus sangat populer di Kamboja,” katanya.
Hubungan itu sedemikian kokoh sehingga membentuk ikatan khusus antara Indonesia dan Kamboja serta antara Kopassus dan Brigade 911. Atase Pertahanan RI untuk Kamboja, Kolonel (Inf) I Nyoman Sukasana, yang ditemui di Phnom Penh, memutarkan video acara tumpengan HUT Kopassus di Kamboja yang diadakan Brigade 911 dengan ucapan selamat ulang tahun bagi Kopassus TNI AD. Prajurit Kamboja yang juga berbaret merah memberikan salam dan teriakan khas Komando.
Tahun ini bertepatan dengan peringatan 60 Tahun Hubungan Diplomatik Republik Indonesia dan Kamboja. I Nyoman Sukasana menunjukkan gambar rancangan monumen untuk memperingati Pasukan Garuda yang menjadi motor Pasukan Perdamaian PBB di Kamboja pada tahun 1990-an.
”Pasukan kita kebagian tempat paling sulit, yakni Kompong Thom. Monumen ini dibangun di tempat strategis di Kompong Thom sebagai pengingat pengorbanan Pasukan Garuda dalam menjaga perdamaian Kamboja. Ketika itu pimpinan Pasukan Garuda adalah Letkol (Inf) Ryamizard Ryacudu, yang kini menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia,” kata I Nyoman Sukasana.
Semasa itu, terjadi insiden kendaraan tempur Pasukan Garuda terkena ranjau darat sehingga beberapa personel Pasukan Garuda menjadi korban. Dengan sepenuh hati, Indonesia membantu Kamboja mewujudkan perdamaian dan rekonsiliasi pasca-perang saudara.
Salam, senyum, sapa khas prajurit TNI sebagai Pasukan Garuda membekas di hati masyarakat Kamboja. Dalam satu kesempatan berkeliling di pelosok Kampong Thom lebih dari 10 tahun silam, penulis yang ketika itu mengenakan jaket berlogo UN (PBB) berulang kali menerima jabat tangan hangat dan acungan jempol dari warga setempat saat mereka tahu penulis berasal dari Indonesia.
Teman kala susah
Amin, anggota staf lokal KBRI Phnom Penh yang bekerja sejak awal tahun 1990-an, mengatakan, hubungan Indonesia-Kamboja memang spesial. Ketika terjadi konflik tahun 1997 yang mengakibatkan kontak senjata di kota Phnom Penh, berbagai misi kedutaan asing mengevakuasi diri dan meninggalkan Kamboja. ”Ketika itu pihak KBRI dan Kantor Athan (Atase Pertahanan) RI mengamankan WNI di kompleks kantor Athan,” kata Amin.
”Sampai menit terakhir ketika negara lain memanggil pesawat untuk mengungsikan diri, Indonesia tetap bertahan dan ternyata akhirnya tercapai kesepakatan damai. Pemerintah Kamboja ketika itu melihat Indonesia adalah teman yang tak meninggalkan Kamboja saat susah. Itu masih diingat generasi tua Kamboja hingga kini,” kata Amin yang fasih berbahasa Indonesia itu.
Komitmen Indonesia tidak setengah-setengah dalam membantu proses perdamaian. Perdana Menteri Hun Sen dalam sejumlah kesempatan secara khusus memuji maskapai Garuda Indonesia yang pertama kali berani terbang dan melayani rute ke Bandara Pochentong (kini Bandara Internasional Phnom Penh). Dalam bahasa Khmer, Garuda disebut Grud. Saat itu, tak ada maskapai lain, termasuk dari negara ASEAN, yang berani mengambil risiko membantu Kamboja pada saat kritis tersebut.
Terkait dengan peringatan 60 Tahun Hubungan Indonesia- Kamboja, Duta Besar RI untuk Kamboja, Sudirman Haseng, mengatakan, pihaknya menggelar sejumlah rangkaian acara seni budaya dan penjajakan bisnis dengan mitra Kamboja. ”Jalur penerbangan Indonesia– Kamboja, promosi produksi Indonesia, dan peluang investasi kita dorong terus mengingat adanya kedekatan emosional dan persaudaraan Indonesia- Kamboja,” kata Sudirman.