Saat Sisa Hidup Dikendalikan Obat
Hampir 15 tahun, Marini (77) harus mengonsumsi obat secara rutin. Mulanya hanya satu jenis obat. Kini ia harus mengonsumsi enam macam obat dalam sehari. Satu obat untuk nyeri, satu obat untuk jantung, satu vitamin, dan tiga untuk tekanan darah tinggi. Obat itu diminum masing-masing satu sampai tiga kali sehari.
Awalnya, ia didiagnosis hipertensi atau tekanan darah tinggi saat menjalani rawat inap karena batu empedu. Sebelumnya tak ada keluhan apa pun. “Paling hanya pusing biasa atau cepat lelah. Maklum, kan sudah tua,” kata Marini yang saat ini tinggal di daerah Yogyakarta.
Meski sudah terdiagnosis hipertensi, saat itu ia tidak mengonsumsi obat secara rutin. Gaya hidupnya pun tidak banyak berubah. Konsumsi makanan tidak terkontrol serta jarang beraktivitas fisik. Ia merasa tubuhnya baik-baik saja karena tidak ada keluhan yang cukup menggangu.
Namun, tidak adanya kesadaran untuk mengubah gaya hidup membuat hipertensi yang dimilikinya semakin merusak organ tubuhnya. Setahun lalu, ia mengalami stroke ringan. Setelah harus menjalani dua kali rawat inap, baru ia sadar untuk mengubah perilaku hidup dan rutin mengonsumsi obat.
Tidak hanya Marini, pengalaman itu juga dialami oleh Niko (53). Pegawai swasta di Jakarta ini sudah sejak 2012 harus rutin mengonsumsi obat hipertensi tiga kali dalam sehari. Ia baru sadar memiliki hipertensi pada 2010. Kira-kira, tekanan darah sistoliknya yang terukur mencapai 180 milimeter merkuri (mmHg). Normalnya, sekitar 140 mmHg.
Sama seperti Marini, ia tidak terlalu memikirkan gangguan tersebut. Konsumsi rokoknya juga tidak dikurangi, sekitar dua bungkus dalam sehari. Kurang aktivitas fisik. Makanan juga tidak dikontrol, sering ia makan dalam porsi berat sekitar pukul 22.00. Tidur malam pun biasanya baru pukul 01.00 dini hari.
“Ternyata dari gaya hidup itu berdampak pada kondisi tubuh saya. Dua tahun setelah didiagnosis hipertensi, sekitar tahun 2012 saya terkena jantung koroner dan harus dipasang ring. Baru saat itu saya benar-benar mengontrol pola makan dan aktivitas saya,” katanya.
Baik Niko maupun Marini, keduanya bisa menjadi contoh nyata bahwa hipertensi harus dikendalikan dengan konsumsi obat secara rutin dan mengubah perilaku hidup menjadi lebih sehat. Hal itu perlu untuk mencegah timbulnya komplikasi penyakit yang lebih serius.
Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (InaSH) Tunggul Situmorang menuturkan, perubahan perilaku menjadi lebih sehat pada pasien hipertensi dapat mencegah ataupun memperlambat laju hipertensi serta mengurangi risiko kardiovaskular. Setidaknya dalam uji coba klinik, pengendalian hipertensi lewat obat dan pola hidup dapat menekan risiko stroke hingga 35-40 persen. Selain itu, risiko serangan jantung juga bisa direduksi sekitar 20-25 persen dan risiko gagal jantung bisa ditekan sampai lebih dari 50 persen.
“Sebaliknya, jika pengendalian hipertensi tidak dilakukan risiko gangguan pada pembuluh darah di otak, jantung, ginjal, maupun mata bisa terganggu. Pengendalian ini harus dilakukan secara bersamaan, baik melalui obat maupun perubahan perilaku. Tidak akan efektif jika hanya mengonsumsi obat saja,” ujar Tunggul.
Ketua Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Aida Lydia menambahkan, agar hipertensi tidak sampai menimbulkan komplikasi, tekanan darah harus selalu dikontrol sepanjang waktu. Kontrol tekanan darah dapat dilakukan dengan memodifikasi gaya hidup dan pola makan menjadi lebih sehat.
Pola makan yang dianjurkan adalah membatasi asupan garam tidak lebih dari 5 gram (satu sendok teh per hari), menghindari makanan tinggi lemak jenuh, serta makanan asin dan manis. Selain itu, modifikasi gaya hidup dapat dilakukan dengan menurunkan berat badan, berhenti merokok, menghindari minum beralkohol, dan berolahraga.
Pada umumnya pengontrolan tekanan darah memerlukan obat hipertensi. Hipertensi tidak bisa sembuh tetapi bisa dikontrol untuk mencegah timbulnya komplikasi. “Pasien perlu mengenali dan mengetahui berapa tekanan darah dan tanyakan ke dokter berapa target penurunan tekanan darah. Pada umumnya target penurunan tekanan darah kurang dari 140/90,” ujarnya.
Perubahan perilaku menjadi lebih sehat pada pasien hipertensi dapat mencegah ataupun memperlambat laju hipertensi serta mengurangi risiko kardiovaskular. Setidaknya dalam uji coba klinik, pengendalian hipertensi lewat obat dan pola hidup dapat menekan risiko stroke hingga 35-40 persen
Hipertensi bisa dikatakan sebagai pembunuh diam-diam. Di balik keluhan dan gejala yang tidak dirasakan, risiko penyakit yang lebih parah sedang mengintai. Besarnya risiko itu seharusnya bisa lebih menyadarkan masyarakat untuk mencegah penyakit ini sejak dini. Kualitas hidup yang buruk tentu bisa menjadi beban bagi diri sendiri, lingkungan, dan negara. Alih-alih semakin baik, kondisi hipertensi di Indonesia justru semakin meningkat.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi hipertensi di Indonesia dari hasil pengukuran tekanan darah pada penduduk usia 18 tahun ke atas sebesar 34,1 persen. Jumlah ini meningkat dari tahun 2013 yakni 25,8 persen.
Data lain dari IHME Global Burden of Disease menunjukkan, hipertensi menjadi faktor risiko kematian terbanyak di Indonesia pada 2017. Sebanyak 23,7 persen dari sekitar 1,7 juta kematian disebabkan oleh hipertensi. Kemudian, 18,4 persen karena faktor risiko gula darah atau diabetes, 12,7 karena rokok, dan 7,7 karena obesitas.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan, promosi dan pencegahan penyakit terus menerus dilakukan untuk menekan prevalensi hipertensi di Indonesia. Pemeritah sendiri sudah berkomitmen menurunkan prevalensi itu dengan memasukkannya dalam indikator RPJMN 2015-2019.
Pelaksanaan gerakan masyarakat (Germas) untuk hidup sehat berdasarkan Instruksi Presiden 1/2017 pun selalu digaungkan. Gerakan ini melalui kegiatan deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular seperti hipertensi. Meningkatakan konsumsi buah dan sayur, tidak merokok, serta melakukan aktivitas fisik.
Anung mengatakan, saat ini Kementerian Kesehatan sedang mengupayakan untuk memberikan tanda peringatan pada makanan olahan dan kemasan yang mengandung gula, garam, dan lemak tinggi. Ini penting agar masyarakat benar-benar sadar makanan yang dikonsumsinya melebihi batas yang aman.
"Namun, aturan ini masih terkendala dari sektor lain. Masalah kesehatan baru bisa diselesaikan jika ada komitmen dari seluruh lintas sektor. Yang jelas, masyarakat dulu. Kalau tidak mau sakit ya lakukanlah perilaku hidup yang sehat,” ujarnya.