Stres dan Pengasuhan
Seorang ibu muda yang saya dampingi merasa cemas sekaligus bersalah karena mengasuh anak tidak sesuai dengan standar idealnya. Ia bertanya, ”Mengapa sekarang ini saya berubah jadi seorang yang arogan dan pemarah terhadap anak?”
Ia melanjutkan, ”Bagaimana cara mengubahnya? Sebelumnya saya tidak pernah searogan ini terhadap anak kecil. Apa karena KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang sebelumnya saya alami? Sedih sekali rasanya. Saya kasihan pada anak saya kalau tiba-tiba saya jadi marah-marah.”
Temuan tentang pengasuhan
Joseph Rowntree Foundation (2007) yang menerbitkan tinjauan terhadap beberapa penelitian membagikan beberapa catatan penting di bawah ini terkait pengasuhan.
Anak memiliki temperamen yang berbeda-beda, ada yang cukup tenang, ada yang mudah gelisah dan menangis, ada yang mudah ditangani, ada yang sebaliknya. Pola pengasuhan yang luwes dengan orangtua yang dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang berbeda-beda ditemukan menjadi model pengasuhan paling efektif.
Sikap orangtua yang hangat, otoritatif, dan responsif sangat penting untuk membangun resiliensi atau ketangguhan dari anak. Otoritatif berasal dari kata authoritative, menunjuk pada kemampuan orangtua menjadi figur otoritas, pemberi arahan benar salah atau baik buruk bagi anak. Jadi, kehangatan dan keterbukaan seyogianya sekaligus digabungkan dengan peran sebagai tokoh otoritas ini.
Orangtua yang dapat mengembangkan pola komunikasi yang terbuka dan partisipatif mengatasi persoalan dengan memfokus pada penyelesaian masalah, menunjukkan kepercayaan diri dan keluwesan sikap akan lebih mampu mengatasi stres secara baik. Orangtua seperti ini juga akan memberikan contoh bagi keluarganya sehingga anak-anak juga terbantu untuk dapat mengelola stres dengan baik.
Peran ibu dan ayah sama-sama penting dalam tampilan yang agak berbeda. Anak yang masih kecil tampaknya memerlukan hubungan lebih erat dengan ibu, dan hal itu akan lebih memengaruhi perkembangannya. Akan tetapi, di masa remaja, terlihat bahwa relasi dengan ayah sangat penting untuk perkembangan dan keberhasilan di sekolah.
Tidak ada hubungan sebab akibat langsung antara kemiskinan dan efektivitas menjadi orangtua. Bagaimanapun, kemiskinan dan kesulitan hidup dapat menghadirkan tekanan pada orangtua. Hal ini lebih lanjut memunculkan perasaan tak berdaya, depresi, dan sikap mudah tersinggung atau marah. Hal itu akan mengganggu efektivitas pengasuhan dan dapat menghadirkan dampak jangka panjang yang kurang baik pada anak.
Orangtua yang paling memerlukan dukungan layanan (misalnya pemeriksaan kesehatan, edukasi tentang pengasuhan, asuransi kesehatan, bantuan pengasuhan) sering kali justru paling sulit memperoleh atau mengakses layanan yang dibutuhkan. Ada gabungan antara kondisi berkekurangan atau terisolasi dan stigma terhadap orangtua atau keluarga dengan karakteristik tertentu.
Ini dapat dialami, misalnya, oleh keluarga sangat miskin, dari kelompok minoritas, dengan disabilitas atau gangguan kesehatan mental, ataupun dengan KDRT.
Refleksi ”menjadi anak”
Upaya memahami perspektif anak menemukan bahwa apa yang dipikirkan anak sering tidak sama dengan ”apa yang dipikirkan oleh orangtua mengenai yang dipikirkan anak”. Orangtua cenderung kurang menyadari (atau menganggap remeh) bahwa yang dilakukannya dapat berdampak signifikan baik secara positif maupun negatif terhadap anak. Di lain pihak, orangtua juga kadang cenderung khawatir berlebih-lebihan mengenai perasaan anak di saat-saat sulit.
Menjadi orangtua memang bukan tugas yang mudah. Ada ayah atau ibu, atau keduanya, yang tidak mampu menjalankannya dengan baik, sering gagal mengendalikan emosi, akibat memang belum memiliki kematangan untuk menjadi orangtua. Tangisan anak biasa dirasakan sebagai sumber tekanan yang besar. Sebagian bahkan melihat anak sebagai saingan atau kompetitor.
Yang lainnya kadang gagal mengelola emosi dengan baik dan meledak marah akibat persoalan atau tekanan hidup yang dialaminya sendiri. Tekanan akan terasa lebih besar apabila pasangan tidak memberikan dukungan, bahkan menjadi sumber masalah besar, misalnya dalam kasus KDRT.
Saya pernah beberapa hari mengamati ibu muda yang saya ceritakan di atas saat mengasuh anaknya yang waktu itu masih bayi. Ketika itu, ia harus lari menyelamatkan diri dan anaknya ke rumah aman akibat suami berperilaku agresif dan berbahaya. Dalam berbagai tekanan dan ketegangan akibat harus melindungi anak dan diri sendiri, serta keharusan untuk mencari nafkah, ia terlihat penuh peduli dan sabar terhadap anak.
Ia juga sangat tekun dan kreatif mencari uang melalui berjualan daring. Dapat disimpulkan, ia penuh kasih sayang pada anak, juga memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, tetapi kadang tak mampu mengelola emosi akibat berbagai tantangan yang dihadapi sebagai orangtua tunggal.
Ibu-ibu (dan bapak) yang lain mungkin juga mengalami persoalan yang sama. Untuk mengatasinya, ketika emosi telah memuncak, orangtua perlu mengambil napas dan menenangkan diri. Merefleksikan kembali situasinya sendiri saat menjadi anak: mengapa anak gelisah, menangis, atau sulit ditenangkan? Saat saya dulu menjadi anak, apa yang saya butuhkan? Apa yang saya harapkan dari orangtua saya?
Dengan demikian, ayah dan ibu diharapkan dapat kembali mengelola emosinya dan tidak melakukan tindakan yang akan disesali seumur hidup.
Catatan akhir dari laporan Joseph Rowntree Foundation (2007) yang tampaknya perlu disimak oleh orangtua adalah bahwa anak sangat memerlukan relasi positif, kasih sayang dan dukungan, serta akan merasa cemas dan terganggu oleh konflik yang dialami oleh orangtua (ayah dan ibu).
Apabila perpisahan tak terhindarkan, anak memerlukan penjelasan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Anak juga perlu memperoleh keyakinan bahwa ayah ibu yang bercerai tetap akan memberikan kasih sayang dan hadir untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan anak.