Sepekan terakhir, jagat dunia maya dan dunia nyata dihebohkan seruan Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono untuk menolak bayar pajak atas kepentingan politik. Seruan itu menuai beragam respons, ada saja yang mendukung, tetapi lebih banyak yang mencibir dan geleng-geleng kepala.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
Seperti manusia, negara pun butuh asupan untuk tumbuh dan berkembang. Asupan negara bersumber dari penerimaan pajak dan bukan pajak. Tanpa asupan itu, negara bisa jatuh sakit, bahkan kritis, dan merepotkan warganya.
Sepekan terakhir, jagat dunia maya dan dunia nyata dihebohkan seruan Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono untuk menolak bayar pajak atas kepentingan politik. Seruan itu menuai beragam respons, ada saja yang mendukung, tetapi lebih banyak yang mencibir dan geleng-geleng kepala.
Bicara tentang pajak memang butuh kepala dingin. Kita tidak bisa membahasnya dari satu sisi wajib pajak, otoritas pajak, atau tarif pajak. Konteks yang dimunculkan juga jangan hanya aspek ekonomi, sosial, budaya, atau politik saja. Semuanya mesti saling terkait.
Hajat hidup
Mengapa demikian? Di Indonesia, pajak sejatinya menyangkut hajat hidup banyak orang. Dari pajak, negara dapat membayar gaji dan THR untuk sekitar 4,3 juta pegawai negeri sipil, membiayai puluhan juta siswa miskin untuk bersekolah, memberi bantuan sosial, termasuk insentif bagi dunia usaha.
Untuk membumikan pentingnya pajak, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengilustrasikan, setiap Rp 1 triliun pajak dapat digunakan untuk membangun 3.541 meter jembatan, 155 kilometer jalan, 52.631 hektar sawah, serta memberi 306.000 ton bantuan pupuk untuk petani dan gaji 10.000 polisi dalam setahun.
Ditilik dari struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), porsi penerimaan pajak dalam pendapatan negara terbilang tinggi, sekitar 75 persen. Itu berarti penopang asupan Indonesia memang berasal dari pajak yang dibayarkan individu dan badan usaha.
Sementara itu, pendapatan negara lainnya diperoleh dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berkisar 10-15 persen, yaitu kepabeanan dan hibah luar negeri.
Pada 2018, penerimaan pajak yang terhimpun Rp 1.424 triliun atau 75,15 persen dari total pendapatan negara. Penerimaan itu terdiri dari jenis Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Pajak, sebagai sumber utama pendapatan negara, secara garis besar dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah serta dana desa.
Anggaran pemerintah pusat itu salah satunya untuk belanja pegawai, termasuk gaji anggota DPR dan dana partai politik.
Sementara, sebagian besar anggaran dialokasikan untuk bidang pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan infrastruktur. Alokasi dana pendidikan dalam Undang-Undang APBN dipatok minimal 20 persen, sementara kesehatan 5 persen dari total pendapatan negara.
”Pajak itu tulang punggung Indonesia. Uang pajak yang dikumpulkan untuk negara pada akhirnya akan kembali kepada masyarakat,” ujar Sri Mulyani menanggapi seruan penolakan bayar pajak, akhir pekan lalu.
Hak dan kewajiban
Sejarah pajak Indonesia dimulai sejak era kolonial. Dulu, pajak memang identik dengan pungutan yang sifatnya memaksa dan hanya menguntungkan penguasa. Sistem pungutan era kolonial itu kemudian diubah Pemerintah Indonesia tahun 1983.
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan saat ini diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1983 yang diperbarui dalam UU Nomor 16 Tahun 2000.
Seruan memboikot pajak tidak saja buruk secara moral, tetapi juga merugikan kepentingan nasional.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengingatkan, tidak membayar pajak, padahal tercatat sebagai wajib pajak, merupakan pelanggaran terhadap UU Perpajakan. Pelanggaran ini melekat secara individual bagi setiap wajib pajak.
”Seruan memboikot pajak tidak saja buruk secara moral, tetapi juga merugikan kepentingan nasional,” ujar Prastowo.
Saat ini hampir semua rakyat Indonesia menikmati fasilitas dan layanan publik yang dibiayai dari pajak, mulai dari kesehatan, pendidikan, subsidi, hingga dana desa. Belum lagi belanja infrastruktur, pertahanan, keamanan, dan birokrasi.
Mengutip berbagai literatur, kata Prastowo, penolakan membayar pajak hanya sah secara hukum apabila pemerintah yang memungut pajak berperilaku korup, melanggar hak asasi manusia, otoriter, dan tidak akuntabel. Penolakan atas dasar kepentingan politik tidak disahkan.
Dari perspektif kepatuhan pajak, tingkat penghindaran pajak di Indonesia juga masih tinggi. Seruan menolak bayar pajak tak ubahnya membenarkan perilaku para pengemplang pajak dan sangat rawan ditunggangi kepentingan pihak tertentu.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi rakyat. Sah saja menuntut hak keadilan, keamanan, dan penghidupan layak kepada negara. Namun, tuntutan itu sejatinya dibarengi kepatuhan membayar pajak.
Kalau rakyat menolak bayar pajak, negara ini akan sulit berjalan dan semakin tertinggal.