Pemerintah mempertimbangkan untuk menaikkan harga pembelian pemerintah untuk pengadaan cadangan beras pemerintah atau CBP. Ini karena kenaikan biaya produksi. Namun untuk merealisasikannya tidak mudah karena kenaikan akan berimplikasi pada inflasi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mempertimbangkan menaikkan harga pembelian pemerintah untuk pengadaan cadangan beras pemerintah atau CBP. Ini karena kenaikan biaya produksi. Namun, untuk merealisasikannya tidak mudah karena kenaikan akan berimplikasi pada inflasi.
Regulasi yang mengatur CBP, yaitu Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras, perlu direvisi untuk menaikkan harga. Dalam inpres tersebut, harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp 3.700 per kilogram (kg).
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud beberapa waktu lalu menyatakan, pemerintah tengah membahas revisi HPP di tingkat rapat koordinasi teknis bersama Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.
”Mengingat kenaikan biaya produksi (di tingkat petani), HPP idealnya naik. HPP GKP sebesar Rp 3.700 per kg tidak mungkin diberlakukan terus-menerus,” ujarnya.
Adapun mempertahankan HPP dengan mekanisme fleksibilitas, menurut Musdhalifah, juga tidak mungkin dilanjutkan secara terus-menerus. Misalnya, untuk panen raya pada semester-I 2019, fleksibilitas yang ditetapkan 10 persen dari HPP menjadi Rp 4.070 per kg untuk gabah di tingkat petani.
Padahal, BPS mencatat, rata-rata harga GKP di tingkat petani pada April 2019 sebesar Rp 4.357 per kg. Sementara Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) meriset, ongkos produksi GKP di tingkat petani Rp 4.523 per kg.
Meski demikian, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi berpendapat, penyerapan dengan mekanisme fleksibilitas masih bisa diterapkan. Pasalnya, kenaikan HPP dapat memicu laju inflasi beras di tingkat konsumen.
Sementara itu, menurut peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Latif Adam, pemerintah mesti memiliki kajian ilmiah atas andil kenaikan HPP gabah di tingkat petani terhadap harga di tingkat konsumen. Apabila andil kenaikan HPP lebih kecil dari andil ongkos distribusi, pemerintah tak perlu ragu meningkatkan HPP.
Berdasarkan survei pola distribusi 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, margin perdagangan dan pengangkutan komoditas beras secara nasional sebesar 28,58 persen. Angka margin ini menggambarkan selisih antara penjualan di tingkat produsen (penggilingan) dan di tingkat pembelian (konsumen akhir) beserta dengan komponen biaya pengangkutan.
Menurut Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih, kebijakan harga pada Inpres 5 Tahun 2015 membuat pemerintah mengalami dilema antara melindungi harga di tingkat petani sebagai produsen agar tidak tertekan dan melindungi harga di tingkat konsumen.
”Dilema ini merupakan tanda kebijakan (harga) pemerintah tersebut bukan solusi berkelanjutan dalam melindungi harga perberasan di tingkat produsen ataupun konsumen. Efisiensi dalam rantai pasok lebih berkelanjutan sebagai solusi,” katanya saat dihubungi, Minggu (19/5/2019).
Alamsyah berpendapat, pemerintah perlu mentransformasi kualitas perberasan di tiap mata rantai pasok. Contohnya, teknologi pascapanen dan pengembangan organisasi di tingkat petani.
Teknologi pascapanen yang berwujud mesin pengering di tingkat petani dapat meningkatkan kualitas GKP yang dihasilkan. Adapun pengembangan organisasi petani dapat mendongkrak kolektivitas gabah. Menurut Alamsyah, kedua langkah ini dapat menaikkan daya tawar petani sehingga pembentukan harga yang sesuai dengan biaya produksi dapat berkelanjutan.
Akibat kebijakan yang tak relevan dengan pembentukan harga di tingkat petani, realisasi penyerapan dalam negeri untuk CBP lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mencatat, realisasi serapan dalam negeri hingga 16 Mei 2019 mencapai 468.317 ton setara beras. Padahal, sepanjang Januari-Mei 2018, realisasinya sebesar 871.200 ton.
Menyelamatkan penyaluran
Inpres 5 Tahun 2015 turut menugaskan Perum Bulog untuk menyalurkan CBP sebagai beras bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Akan tetapi, pemerintah kini mencanangkan program bantuan pangan nontunai (BPNT) yang memberikan keleluasaan kepada keluarga penerima manfaat (KPM) untuk membeli beras yang dijual di E-warong atau agen penjual yang mendukung BPNT. Imbasnya, kanal penyaluran Bulog menyempit.
Oleh karena itu, pemerintah juga tengah mengkaji kelayakan Bulog sebagai pemasok utama beras di E-warong dalam program BPNT. Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial Andi ZA Dulung dan Deputi Bidang Industri Agro dan Farmasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara Wahyu Kuncoro secara terpisah mengatakan, pihaknya masih membahas hal tersebut.
Meski demikian, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengharapkan, aturan setingkat instruksi presiden, peraturan presiden, atau keputusan presiden terkait penetapan Bulog sebagai pemasok utama beras untuk BPNT diterbitkan tahun ini.
”Kami memiliki stok beras yang banyak, tetapi tidak ada penyalurannya (di hilir). Jika dibiarkan, lama-lama beras ini akan rusak,” ujarnya.