Hari Trisuci Waisak mengingatkan pada tiga peristiwa suci dalam kehidupan Buddha Gautama, yaitu kelahiran, pencapaian pencerahan sempurna, dan kemangkatan Sang Buddha. Tiga peristiwa suci itu terjadi pada hari purnama sidi, bulan Waisak.
Waisak merupakan hari raya terbesar dan diperingati oleh 487 juta orang pemeluknya di banyak negara di Asia, seperti China, Jepang, Thailand, Myanmar, Sri Lanka, Vietnam, dan India.
Di Indonesia, Waisak mulai dirayakan setidaknya sejak 1930 di Candi Borobudur. Di tempat sama, Waisak mulai dirayakan secara umum pada 1953. Disusul peringatan secara nasional enam tahun kemudian, bahkan dihadiri biksu dari luar negeri. Surat Keputusan Presiden RI Nomor 3 Tahun 1983, menetapkan hari raya Waisak bagi umat Buddha ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Peringatan Waisak selalu diawali tradisi pengambilan air suci dari Umbul Jumprit di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Selain air suci, prosesi juga melakukan pengambilan Api Dharma di Mrapen, Grobogan, Jawa Tengah.
Air suci dan api abadi tersebut kemudian dibawa ke Candi Mendut yang terletak di Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Setelah prosesi di Candi Mendut selesai, upacara Waisak dilanjutkan ke Borobudur yang merupakan tempat sembahyang umat Buddha terbesar di dunia.
Candi yang dibangun pada abad ke-8 itu, mempunyai tiga tingkatan yang menggambarkan tiga tahapan hidup disertai dengan relief yang menggambarkan kebaikan dan keburukan. Bagian sakral dari puja bakti detik-detik Waisak di Candi Borobudur ini adalah pembagian air suci atau berkah Waisak kepada seluruh umat.
Tradisi
Peringatan Waisak di Indonesia tidak hanya diadakan di Candi Borobudur, tetapi juga di sejumlah daerah seperti di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di Dusun Gunung Kelir, Desa Jatimulyo, Girimulyo.
Peringatan Waisak juga dilakukan di situs Kompleks Situs Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi. Umat Buddha memulai prosesi pradaksina yang diawali arak-arakan pembawa lilin dan obor pancawarna serta bendera yang juga dibawa mengelilingi Candi Gumpung sebagai candi terbesar di kompleks itu. Rombongan berikutnya pembawa persembahan berupa air, lilin, gaharu, buah-buahan, serta bunga.
Setelah Candi Gumpung, iring-iringan umat kemudian mengitari Candi Tinggi yang berada tak jauh dari situ. Setelah selesai mengitari Candi Tinggi, seluruh umat kemudian berkumpul dalam tenda yang dipasang panitia di depan candi.
Prosesi lainnya yang dilakukan berupa puja barati, maskara puja, pemercikan air suci kepada umat, dan asmarakaragata (sujud pada guru Buddha dan Biksu Sangga).
Dalam perayaan Waisak terdapat juga tradisi Pindapatta, seperti di sekitar Wihara Maha Cetiya Oenang, Kota Jambi dan kawasan Jalan Pemuda, Magelang, Jawa Tengah.
Ini merupakan tradisi umat Buddha di mana para biksu berkeliling untuk memperoleh persembahan dari umat berupa uang atau makanan. Mereka membawa patta (mangkok) sambil terus berjalan tanpa alas kaki.
Tradisi pindapata ini memiliki dua tujuan. Selain memberi kesempatan umat untuk berderma, tradisi ini juga bertujuan memberikan pelajaran bagi para biksu sendiri untuk berbahagia dan menerima segala pemberian yang ada sebagai suatu berkat dan karunia.
Prosesi lain di seputar Waisak adalah kirab di Pekanbaru, Riau. Ratusan umat Buddha dari beberapa kota di Provinsi Riau memperingati hari Waisak di areal Candi Muara Takus, di Kecamatan XIII Kota Kampar, Provinsi Riau, sekitar 120 km dari Kota Pekanbaru.
Umat Buddha di Pekanbaru juga melaksanakan prosesi berkeliling di pusat Kota Pekanbaru. Prosesi keliling Kota Pekanbaru dilaksanakan dengan arak-arakan tiga mobil yang membawa miniatur pagoda, stupa Buddha, serta sebuah kerangka kotak yang diberi kain putih transparan sehingga terlihat cahaya dari dalamnya. (LITBANG KOMPAS)