Biasakan Membaca Ekstensif
Gerakan literasi tidak akan berhasil tanpa mengajak anak atau siswa menyukai buku. Melalui metode membaca ekstensif, anak sejak dini diajak menyukai buku dan menganggap buku sebagai sumber hiburan dan inspirasi.
JAKARTA, KOMPAS — Sekolah dan rumah hendaknya mengembangkan kemampuan membaca ekstensif untuk anak. Setelah itu, baru anak mulai dilatih untuk membaca intensif dan membuat ulasan serta refleksi terhadap materi yang telah dibaca.
Membaca ekstensif adalah membaca tanpa beban. Siswa dibebaskan memilih buku, majalah, atau pun koran yang hendak dibaca. Di sekolah, siswa dibebaskan memilih buku, majalah, atau pun koran yang hendak dibaca. Seusai membaca, siswa tak perlu diminta berefleksi atau pun menulis ulasan mengenai buku itu. Kegiatan ini murni bertujuan memenuhi hasrat membaca dan mencari kesenangan.
"Membaca ekstensif harus dikembangkan sejak awal karena kegiatan ini kunci dari terbentuknya kebiasaan membaca," kata dosen Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya Pratiwi Retnaningdyah ketika memberi pemaparan dalam peluncuran Indeks Aktivitas Literasi Membaca oleh Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Jumat (17/5/2019). Melalui metode membaca ekstensif, anak sejak dini menyukai buku dan menganggapnya sebagai salah satu sumber hiburan dan inspirasi.
Membaca ekstensif harus dikembangkan sejak awal karena kegiatan ini kunci dari terbentuknya kebiasaan membaca.
Belum menjadi teladan
Permasalahan yang terjadi di sekolah adalah jumlah buku non pelajaran yang tersedia di perpustakaan sangat terbatas. Kalaupun ada, beberapa buku tidak sesuai dengan minat dan usia anak di sekolah. Tanpa ada buku menarik seperti novel dan kumpulan cerpen, target mengembangkan kebiasaan membaca ekstensif sukar terwujud.
Kendala lain adalah guru belum bisa menjadi teladan membaca. Pratiwi melakukan penelitian di sekolah-sekolah di Jawa Timur mengenai pengembangan kebiasaan membaca di sekolah. Ketika diminta melakukan refleksi dan memberi penilaian diri sendiri dengan skala 0 hingga 100, sekolah-sekolah umumnya memberi nilai sendiri di bawa 70.
"Sekolah menyadari belum semua guru memiliki kemampuan membaca, jadi tidak mungkin minat baca siswa bisa diolah lebih lanjut tanpa mengintervensi guru terlebih dahulu," kata Pratiwi.
Ia mengkritisi pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah, baik pusat dan daerah, di sekolah umum maupun madrasah. Salah satu contohnya adalah banyak yang salah mengira peningkatan literasi bisa dilakukan dengan cara menyuruh guru menulis buku, sehingga ada program satu guru ditargetkan menerbitkan satu buku dalam satu tahun.
Banyak yang salah mengira peningkatan literasi bisa dilakukan dengan cara menyuruh guru menulis buku.
"Tanpa banyak membaca tidak mungkin bisa menulis. Kalau dipaksa terus, nanti tulisan yang dihasilkan bisa jadi hasil jiplakan dari tulisan-tulisan orang lain atau mutu tulisannya buruk karena dikerjakan tanpa keterampilan literasi mumpuni," ujarnya.
Ia menekankan, satu-satunya cara ialah mengajak guru banyak membaca ekstensif. Secara bertahap, baru guru belajar membaca intensif, yaitu membaca dengan tujuan tertentu seperti untuk ditelaah isinya atau kemudian dibuat kritik terkait topik yang dibahas.
Pengajaran terhadap siswa juga serupa. Sebelum meminta mereka mengulas dan menceritakan kembali, keterampilan itu perlu diajar dan dilatih terlebih dahulu. Setelah itu, baru diujicobakan dengan mengulas teks-teks pendek sampai akhirnya bisa mengulas sebuah buku.
Kepala Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan Badan Bahasa dan Perbukuan Kemdikbud, Emi Emilia, mengatakan pihaknya melakukan penelitian terhadap 6.000 siswa di SMP-SMP yang bukan berasal dari sekolah terasesmen PISA (Program Asesmen Siswa Internasional). Dari skor 200 hingga 800, nilai rata-rata siswa adalah 489.
"Penemuan kami adalah anak-anak yang mendapat nilai di atas 600, walaupun bersekolah di pedesaan, ternyata orangtua mereka terbiasa membacakan buku cerita sejak bayi," katanya.
Anak-anak yang mendapat nilai di atas 600, ternyata orangtua mereka terbiasa membacakan buku cerita sejak bayi.
Siswa-siswa ini terbiasa dengan buku dan memiliki minat membaca sejak dini sehingga bagi mereka mudah untuk mengetahui jenis-jenis teks. Sebaliknya, penelitian Badan Bahasa dan Perbukuan mengungkapkan bahwa guru-guru Bahasa Indonesia yang memahami jenis-jenis teks dan perbedaannya ternyata kurang dari 50 persen.
"Ini yang membuat pemelajaran literasi kacau. Terkadang guru tidak bisa mengkomunikasikan maksud mereka kepada siswa sehingga siswa keliru cara mengerjakan tugasnya. Ada juga guru yang asal memeriksa tugas siswa karena dia sendiri kurang memahami konteks materinya," ujar Emi.
Sementara itu, peneliti Puslitjak Kemdikbud Lukman Solihin mengatakan pentingnya petugas perpustakaan sekolah rutin mendata koleksi buku yang ada. Mereka juga harus membuat pemetaan selera membaca siswa sehingga sekolah bisa menyediakan buku-buku yang diminati siswa.