Ekspor Lesu, Waspadai Risiko Pembayaran Utang Swasta
Perlu ada penerapan regulasi yang ketat dengan prinsip kehati-hatian membatasi tambahan utang luar negeri swasta untuk mencegah gagal bayar utang.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Besarnya utang luar negeri di tengah perlambatan ekspor berpotensi meningkatkan risiko terkait kemampuan membayar utang swasta. Kondisi itu mesti segera diantisipasi untuk mencegah terjadinya gagal bayar.
Berdasarkan data Bank Indonesia, utang luar negeri Indonesia hingga akhir Maret 2019 sebesar 387,6 miliar dollar AS. Rinciannya, utang pemerintah dan bank sentral sebesar 190,5 miliar dollar AS serta utang swasta, termasuk BUMN, sebesar 197,1 miliar dollar AS.
Dengan nilai tukar berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Senin (20/5/2019), yakni Rp 14.478 per dollar AS, total utang luar negeri Indonesia setara Rp 5.611,67 triliun.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam yang dihubungi dari Jakarta, Senin, mengatakan, penurunan kinerja ekspor akan memengaruhi kemampuan swasta membayar utang luar negeri. Hal itu karena swasta tidak memiliki banyak alternatif sumber untuk membayar pokok dan bunga utang.
“Beban utang menjadi berat bagi sektor swasta ketika sumber penerimaan valas untuk membayar utang berkurang,” kata Piter yang dihubungi Kompas.
Risiko terkait kemampuan membayar utang swasta juga tercermin dari peningkatan rasio pembayaran utang (debt to service ratio/DSR). Mengutip data BI, DSR Tier-1 pada triwulan I-2019 sebesar 27,96 persen, naik dibandingkan triwulan I-2018 yang sebesar 26,29 persen.
Debt Services Framework (DSF) Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia menyebutkan, batas aman DSR adalah 25 persen. DSR merupakan kemampuan membayar utang dari penerimaan pada neraca transaksi berjalan yang meliputi ekspor barang dan jasa, pendapatan primer, dan pendapatan sekunder. Semakin rendah DSR berarti semakin baik kemampuan membayar utang.
“Naiknya DSR tidak semata disebabkan kenaikan nominal utang, tetapi fluktuasi ekspor yang sangat dipengaruhi pergerakan harga komoditas,” kata Piter.
Menurut Piter, pemerintah dan BI mesti mewaspadai pertumbuhan utang luar negeri swasta di tengah kinerja ekspor yang lesu. Perlu ada penerapan regulasi yang ketat dengan prinsip kehati-hatian membatasi tambahan utang luar negeri swasta untuk mencegah gagal bayar utang.
Utang luar negeri swasta per Maret 2019 tumbuh 12,09 persen secara tahunan. Penarikan utang didominasi sektor jasa keuangan dan asuransi; industri pengolahan; pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara (LGA); serta pertambangan dan penggalian.
Di sisi lain, lanjut Piter, kondisi utang luar negeri pemerintah relatif aman karena hanya tumbuh 3,6 persen secara tahunan. Ketersediaan valuta asing untuk membiayai utang luar negeri pemerintah juga tidak hanya dari ekspor, berbeda dengan swasta.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah secara konsisten mengelola dan menjaga pertumbuhan utang. Rasio utang diupayakan tidak lebih dari 30 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan digunakan untuk kegiatan produktif.
Kontribusi daerah
Sri Mulyani menambahkan, kapasitas perekonomian Indonesia untuk tumbuh tinggi masih terkendala. Potensi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah belum tergarap optimal karena distribusi infrastruktur pendukung belum merata.
“Akibatnya, industri manufaktur hanya terkonsentrasi di Jawa sehingga terkendala pertumbuhannya,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.
Upaya meningkatkan ekspor salah satunya dengan pengembangan ekonomi daerah. Ada empat destinasi unggulan yang diharapkan mampu memacu ekspor dan devisa sektor pariwisata, yaitu Borobudur, Labuan Bajo, Danau Toba, dan Mandalika.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal, berpendapat, pemerintah daerah juga bisa mengambil peran dalam pemetaan produk-produk unggulan. Selama ini banyak produk lokal berorientasi ekspor yang tidak terekspos.
“Selain bernilai tambah tinggi, aspek lokalitas yang tinggi juga penting untuk menembus pasar ekspor,” ujar Fithra.
Pemerintah daerah, lanjut Fithra, bisa berkolaborasi dengan perusahaan e-dagang untuk pemasaran produk. Kolaborasi e-dagang dengan daerah ini sudah dilakukan perusahaan perdagangan elektronik raksasa China, Alibaba Group, di Shanghai, China.
“Produk-produk UMKM dijual di laman e-dagang milik Alibaba sehingga pangsa pasar lebih luas. Dengan sentuhan digital, pendapatan UMKM di sana naik drastis dari 2 dollar AS menjadi 1.000 dollar AS per bulan,” kata Fitra.
Beberapa produk lokal Indonesia yang memiliki potensi ekspor besar, antara lain, makanan dan minuman, kerajinan tangan, dan batik. Produk lokal itu bisa diarahkan ke pasar-pasar tradisional Indonesia, seperti Eropa dan Amerika Serikat.