Gim Lokal Potensial
Industri gim lokal berpotensi untuk bersaing di dunia internasional. Dibutuhkan dukungan dari semua pihak agar industri gim lokal berkembang pesat.
BANDUNG, KOMPAS Pelaku industri kreatif pembuat gim di Indonesia memiliki potensi untuk bersaing di kancah internasional. Pengembangan industri ini patut diperhitungkan karena dapat menyerap tenaga kerja dan mendatangkan keuntungan cukup besar.
Perusahaan riset gim global, Delta Patner dan Newzoo, tahun ini menempatkan Indonesia pada posisi ke-17 dalam industri pembuat gim di dunia. Namun, tahun 2030, Indonesia bisa masuk posisi lima besar dengan penghasilan 4,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 62 triliun. Syaratnya, didukung pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita, kecepatan pengembangan jaringan internet, serta pertumbuhan penjualan telepon pintar.
Sementara data Badan Ekonomi Kreatif menunjukkan, pada 2016, penghasilan di industri pembuatan gim mencapai 480 juta dollar AS atau Rp 6,9 triliun. Tahun 2017 naik menjadi 800 juta dollar AS atau Rp 11,5 triliun, terus meningkat menjadi 1,084 miliar dollar AS atau Rp 15,6 triliun pada tahun lalu.
”Secara global, nilai pasar gim itu lebih tinggi dari film. Penghasilan dari film sekitar 40,6 miliar dollar AS. Sektor ini berpotensi membuka peluang usaha baru. Namun, potensi besar ini cenderung belum banyak dilirik investor lokal,” kata Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif Hari Santosa Sungkari, Rabu (8/5/2019).
Selain minim investasi dalam negeri, pengembang lokal juga belum memaksimalkan peluang. Dari penghasilan 1,084 miliar dollar AS tahun lalu, pengembang lokal hanya meraih 0,4 persen. Sebagian besar diraup pengembang asing.
Hari mencontohkan perbandingan jumlah perusahaan gim di Indonesia. Saat ini, baru terdapat 200 studio atau pengembang gim. Jumlah itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan Korea Selatan dengan 16.000 studio, China (25.000 studio), dan Malaysia (300 studio).
”Dari jumlah studio gim di Indonesia itu, talenta di dalamnya yang terlibat sekitar 1.200 orang. Di Korsel ada 95.000 orang,” katanya. Ia menambahkan, faktor permodalan dan akses pendidikan memengaruhi kondisi tersebut.
Percaya diri
Ketua Umum Asosiasi Gim Indonesia (AGI) Narenda Wicaksono menuturkan, dari sekitar 200 studio gim, baru 44 studio yang terdaftar di AGI. Persebaran terbanyak ada di Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Di Bandung, yang paling menonjol adalah pemain lama, seperti Agate, Digital Happiness, atau Masshive.
”Nilai pasar gim Indonesia sangat besar. Ini seharusnya dimanfaatkan dengan baik oleh pengembang lokal,” katanya. Narenda yakin jika pengembang lokal percaya diri, banyak gim berkualitas bakal hadir. Ia mencontohkan gim buatan Agate, Valthirian Arc: Hero School Story. Gim untuk PlayStation 4, Nintendo Switch, dan komputer itu dirilis Oktober 2018 di Amerika Serikat dan Eropa oleh penerbit asal Inggris, PQube.
”Hanya dalam sebulan dipasarkan, penjualan sudah balik modal mencapai 1 juta dollar AS (sekitar Rp 14 miliar),” kata Chief Marketing Officer Agate, Shieny Aprilia (32), di Bandung.
Agate diawaki 200 anak muda berusia 25-33 tahun. Sejak didirikan tahun 2009, lebih dari 250 gim dibuat studio ini. Digital Happiness, pengembang asal Kota Bandung lainnya, juga mampu bersaing di pasar global lewat DreadOut. Gim ini berpenghasilan di atas 1 juta dollar AS atau Rp 14 miliar. DreadOut lantas diadaptasi menjadi film layar lebar.
”Bisnis gim segmennya luas. Sebab, lisensinya bisa digunakan untuk bisnis lainnya. Jadi, penghasilannya tidak dari penjualan gim saja,” ujar pendiri Digital Happiness, Rachmad Imron (40).
Pengembang asal Bandung lainnya, Own Game, sukses dengan gim andalannya, Tahu Bulat, yang hingga kini diunduh 5 juta kali. Gim ini mendapatkan penghargaan Guilty Pleasure dalam 1st International Mobile Gaming Awards Southeast Asia (IMGA SEA) 2016 di Malaysia, menyisihkan gim bikinan Finlandia, Clash of Clans.
Meski cukup sukses, Eldwin Viriya (30), pendiri dan CEO Own Games, mengaku tidak mudah merekrut kru. Saat ini ia baru memiliki 19 pengembang perangkat lunak (programmer). Setiap gim dipegang 3-7 kru, jauh dari jumlah ideal 15-20 kru. ”Selain bisa bahasa pemrograman juga butuh minat dan niat tinggi di dunia gim,” katanya. (SEM/RTG/TAM)