Manchester City menegaskan dinasti emasnya seusai menggilas Watford 6-0 di final Piala FA. City akan dikenang berkat kesuksesan menyapu bersih tiga gelar domestik semusim.
LONDON, MINGGU - Menyabet treble alias tiga gelar domestik semusim di Inggris sempat dianggap kemustahilan, tidak terkecuali bagi manajer legendaris Manchester United, Sir Alex Ferguson. Hal mustahil itu kini diwujudkan oleh Manchester City dan manajernya, Pep Guardiola.
”The Citizens” menjadi tim sepak bola putra pertama Inggris yang menyapu bersih tiga gelar domestik semusim, yaitu Liga Inggris, Piala Liga, dan Piala FA. Dominasi mereka tercermin pada final Piala FA di Wembley, Sabtu (18/5/2019) malam. City tanpa ampun mencukur lawannya, Watford, dengan setengah lusin gol.
Kemenangan dengan jumlah gol sebanyak itu terakhir kali terjadi pada final Piala FA 1903, pada era Ratu Victoria, saat Bury menggilas Derby County, 6-0. City juga meraih rekor baru lain, sebagai tim pertama yang mengukir 169 gol semusim pada semua kompetisi.
”Kompetisi domestik di Inggris tidak pernah melihat hal seperti dilakukan City ini sebelumnya. Selamat datang dinasti baru. Sekarang menjadi dunianya ”langit biru” (warna City),” tulis koran Inggris, The Guardian.
Chris Waddle, mantan penyerang Inggris, bahkan menilai City asuhan Guardiola sebagai salah satu tim terhebat sepanjang sejarah sepak bola Inggris. City dinilai setara dua tim legendaris di Inggris, yaitu MU “kelas” 1999 asuhan Ferguson yang meraih trofi Liga Inggris, Liga Champions Eropa, dan Piala FA; serta Liverpool tahun 1984 yang menyabet treble berupa Liga Inggris, Liga Champions dan Piala Liga.
”Anda lihat sendiri apa yang dilakukan City terhadap Watford. Hal serupa juga bisa mereka lakukan pada mayoritas tim lainnya di Inggris. Mereka akan terus menggila. Mereka bisa terus memenangi liga dan piala-piala selama lima hingga satu dekade ke depan,” ujar Waddle memprediksi dominasi City seperti dikutip BBC.
”Karpet merah” Guardiola
City saat ini ibarat kekaisaran. Sejumlah pihak menyamakan City dan Guardiola dengan Kekaisaran Romawi dan Julius Caesar. City memang sejak lama didesain untuk Guardiola. Pemilik City, Sheikh Mansour bin Zayed Al-Nahyan, menyiapkan karpet merah untuk mantan manajer Barcelona itu sejak 2012. Saat itu, City merekrut dua mitra Guardiola di Barca, Ferran Sorino dan Txiki Begiristain.
Sorino menjadi CEO, dan Begiristain menjadi direktur sepak bola. City juga mendatangkan Rodolfo Borrell, mantan asisten Guardiola di tim muda Barca yang ikut membesarkan Lionel Messi, Andres Iniesta, dan Cesc Fabregas. Manuel Pellegrini ketika itu ditunjuk sebagai manajer City karena dianggap memiliki kesamaan karakter taktik dengan Guardiola.
Dengan demikian, para pemain City tidak menderita ”gegar taktik” ketika Guardiola bergabung pada 2016. Hanya butuh adaptasi satu tahun, setelah kegagalan di musim pertama, Guardiola mengangkat City menjadi tim paling menakutkan di Inggris. Mereka menyabet lima dari maksimal enam trofi yang diperebutkan di Inggris dua musim terakhir.
Guardiola membungkam kritik yang meyakini, penguasaan bola tinggi penuh operan rumit alias tiki-taka miliknya tidak bakal sukses di Liga Inggris. Berbeda dengan Liga Spanyol, Jerman, atau Italia, Inggris kental dengan pakem kick and rush alias sepak bola cepat dan lugas. Liga paling sengit di dunia itu tidak jarang dimenangi tim pragmatis seperti Chelsea dan Leicester City.
Meskipun diberkahi para individu berbakat seperti Sergio Aguero, Kevin De Bruyne, dan Raheem Sterling, City bukan tim individualis seperti tetangganya MU. Tim dengan anggaran total gaji pemain di bawah MU dan Liverpool ini menjelma sekelompok serigala yang berburu mangsa secara kolektif dan tidak pernah kenyang gelar. Meskipun tidak pernah meraih gelar pemain terbaik beberapa tahun terakhir ini, City adalah langganan juara saat ini.
”Hal impresif dari City adalah selalu menyerang dan mengejar gol meski telah unggul besar. Karakter itu datang dari manajernya, jiwa lapar dan hasrat kemenangan,” kata mantan sriker Inggris Alan Shearer. (AFP)