Setidaknya ada dua hal yang menyita perhatian masyarakat internasional akhir-akhir ini, yakni meningkatnya eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta eskalasi ketegangan di kawasan Timur Tengah akibat konflik AS dan Iran. Bagi kita di Tanah Air, dua perkembangan itu sama-sama bisa menimbulkan dampak yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Perang dagang AS-China, seperti telah beberapa kali dipaparkan di halaman depan harian ini pekan lalu, dinilai berdampak pada sektor keuangan dan ekspor. Di pasar saham, pertengahan pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan sempat meninggalkan posisi sekitar 6.000. Akibat pukulan pada ekspor itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ekspor tak mungkin lagi menjadi penopang pertumbuhan ekonomi.
Bagaimana dampak konflik AS-Iran? Setali tiga uang. Meski efeknya belum ”sekeras” pukulan perang dagang AS-China, peningkatan eskalasi di Teluk Persia berpotensi berdampak pada harga minyak dunia. Saat ini, harga minyak dunia berada di kisaran 70 dollar AS per barel.
Disrupsi suplai minyak pernah terjadi saat perang Irak- Iran meletus tahun 1980-1988. Saat itu, lebih dari 500 kapal komersial hancur atau rusak dalam peristiwa yang sering disebut dengan ”Perang Tanker”.
Pekan lalu terjadi sabotase misterius pada empat kapal, termasuk dua kapal tanker Arab Saudi di perairan Uni Emirat Arab. Insiden itu sempat memicu kekhawatiran soal keamanan jalur perdagangan minyak, khususnya Selat Hormuz yang menjadi urat nadi utama jalur energi dunia.
Pakar minyak asal Kuwait, Kamel al-Harami, dikutip kantor berita AFP, Jumat (17/5/2019), mengatakan, jika jalur navigasi di Hormuz terhenti, harga minyak dunia bisa meroket hingga lebih dari 100 dollar AS per barel. Maklum, hampir semua ekspor minyak Arab Saudi, Irak, UEA, Kuwait, Qatar, dan juga Iran yang sedikitnya 15 juta barel per hari melewati Selat Hormuz.
Jika jalur itu terganggu, pukulan telak tak hanya dirasakan negara-negara produsen minyak, tetapi juga dirasakan negara pengimpor minyak, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan.
Disrupsi suplai minyak pernah terjadi saat perang Irak- Iran meletus tahun 1980-1988. Saat itu, lebih dari 500 kapal komersial hancur atau rusak dalam peristiwa yang sering disebut dengan ”Perang Tanker”.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei di Teheran menegaskan, ”Kami atau mereka sama-sama tidak ingin perang. Mereka tahu, (perang) itu tidak menguntungkan mereka.” Menjawab pertanyaan wartawan di Washington DC soal apakah AS ingin berperang melawan Iran, Presiden AS Donald Trump juga menyatakan, ”Saya berharap tidak (terjadi perang).”
Sebutlah kedua pihak sama-sama tidak menginginkan perang, tetapi bagaimana jika ketegangan saat ini memicu insiden di luar dugaan yang terjadi—misalnya saja—akibat kecerobohan? Hal inilah yang diingatkan Becca Wasser, analis keamanan Teluk di lembaga RAND Corp, Washington.
”Karena AS dan Iran tak punya saluran komunikasi saat ini, semua (aksi) bisa dipersepsikan oleh satu pihak secara berbeda dari apa yang dimaksudkan pihak lain,” katanya kepada Associated Press.
Satu-satunya jalan—mudah diucapkan, tetapi kerap dilanggar—semua pihak harus menahan diri. Jangan pernah bermain dengan api perang. Perang, seperti bunyi pepatah, hanya membuat yang ”menang jadi arang, kalah jadi abu”.