Jin Maxwell
Samsudin Berlian, sang ”penggumul makna kata”, di rubrik Bahasa (Kompas, 11/5/2019) menakrifkan fiksi sebagai ”kisah buatan yang ... intisarinya ... kebenaran atau pencarian kebenaran”.
Konon Mahabharata ditulis Rsi Vyasa. Adikarya sastra ini memenuhi takrif ”fiksi”-nya Samsudin Berlian. Intisari Mahabharata, termasuk episode Bharatayuda, ialah bahwa dalam pertarungan antara kebenaran dan kejahatan, kebenaran yang menjadi pemenang.
Dalam fiksi Bharatayuda, dalam lakon ”Durna Gugur”, ada hoaks, yakni kebohongan yang ditampilkan seolah-olah kebenaran, dengan maksud menyesatkan. Situasinya genting. Arjuna dan Bratasena terpancing lawan mereka, Gardapati dan Wersaya, menjauh dari medan laga. Abimanyu telah gugur, dan Raja Amarta, Prabu Puntadewa, sudah terkepung bala tentara Kurawa. Maka, botoh Pandawa, Prabu Sri Batara Kresna, membuat hoaks.
Hoaks itu ialah ”Tama mati”. Kata-kata itu diteriakkan ramai-ramai oleh para prajurit Pandawa atas perintah Kresna. Harapannya didengar Begawan Durna, Senapati Agung Kurawa, dan diluncas-pahami Durna sebagai ”Aswatama mati”.
Aswatama adalah putra tunggal Begawan Durna. Kalau Durna percaya anaknya mati dalam peperangan, pastilah ia sedih dan putus asa.
Prabu Puntadewa bukan pembuat hoaks, tetapi ia tahu konten teriakan ”Tama mati” itu adalah kebohongan untuk menyesatkan. Puntadewa tahu yang mati ialah gajah Hestitama. Ketika Durna memastikan kebenaran kabar dengan bertanya kepada Puntadewa, Puntadewa menjawab, ”Hesti Tama mati”. Kata ”Hesti” diucapkan lirih, sedangkan ”Tama mati” dikatakan dengan keras.
Karena reputasi Puntadewa sebagai insan berdarah putih yang tak pernah bohong, percayalah Durna bahwa putranya mati. Senapati Agung Kurawa itu menjadi linglung. Dengan mudah kepalanya dipenggal oleh pangeran pati Pancalaradya, Raden Trustajumena.
Kresna berhasil meyakinkan Puntadewa bahwa kemenangan dalam perang Bharatayuda imperatif kategoris bagi Pandawa. Imperatif kategoris adalah perintah yang tak usah dipertanyakan lagi, harus dilaksanakan. Karena itulah, demi kemenangan, terpaksa berbohong pun tak apalah.
Tanpa berbohong kepada Durna, kepungan Kurawa pada pakuwon Hupalawiya, tempat Puntadewa dijaga para kesatria Pandawa, mustahil bisa dibedah. Dan jika Puntadewa tertangkap oleh Kurawa, selesailah Bharatayuda dengan kemenangan di pihak Kurawa. Maka Puntadewa berpegang pada moto ”tujuan menyucikan cara” [the end justifies the means (Ing); het doel heiligt de middelen (Bld)]. Kemenangan adalah harga mati!
Hoaks dunia nyata
Itu tadi hoaks fiksi pewayangan. Di dunia nyata juga banyak hoaks, termasuk di bidang ilmiah. Yang terkenal misalnya hoaks tentang fusi dingin (cold fusion) yang didaku (diklaim) Steven Pons dan Martin Fleischmann di Universitas Utah, Salt Lake City.
Pons dan Fleischmann mengaku berhasil membuat fusi nuklir (perpaduan inti-inti atom ringan) pada suhu kamar secara elektrolitis, dengan menggunakan paladium sebagai katalisisnya.
Kabar tentang fusi dingin yang sangat menggemparkan komunitas ilmuwan itu kemudian dinyatakan sebagai hoaks setelah replikasi percobaan itu oleh ilmuwan-ilmuwan lain, di laboratorium-laboratorium lain, semuanya gagal.
Hoaks di luar bidang penelitian ilmiah juga dapat diselidiki kebohongannya. Penyelidikannya harus secara ilmiah—sistematis, logis-rasional dan empiris-faktual—asalkan pernyataan atau ujaran yang dicurigai sebagai hoaks itu tidak bersangkutan dengan hal-hal yang mistis.
Kabar tentang adanya peti kemas berisi surat suara yang sudah dicoblos di Malaysia sebelum waktu pencoblosan di sana dapat dipastikan apakah benar atau hoaks asalkan Bawaslu diberi akses ke peti itu oleh otoritas setempat.
Dalam teori mekanika statistis, Maxwell memakai ”tokoh kunci”, dikenal sebagai ”jin Maxwell” (Maxwell demon). Jin tentulah konsep mistis, sejenis roh halus. Namun, teori Mekanika Statistis-nya Maxwell itu bukan hoaks. Selain kebenarannya terbukti secara ilmiah, ”Maxwell demon” adalah metafora yang sengaja dipakai untuk memudahkan kita membayangkan prosesnya.
Lain halnya dengan ujaran genderuwo atau setan gundul. Gundulnya, sih, mudah dibuktikan, yakni dengan mengamati kepala si Setan, tetapi setannya, kan, tidak tampak. Dalam bahasa filsuf ilmu Karl R Popper, ujaran Setan Gundul pembisik itu disebut tak terujikan (not testable atau not falsifiable), artinya tak dapat diuji apakah benar atau salah.
L Wilardjo Fisikawan