Kebangkitan Nasional di Era Politik Identitas dan Medsos
Semula adalah imajinasi. Ketika sejumlah orang berkumpul mendirikan Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, di ruang kelas Anatomi STOVIA Jakarta, belum ada konsep negara bangsa bernama Indonesia.
Orang-orang datang karena dorongan perasaan yang sama, keinginan untuk bangkit mempertahankan harkat sebagai manusia bebas. Kehendak universal yang kelak berevolusi jadi gerakan perjuangan merdeka dari penjajahan. Indonesia hari ini dibentuk oleh konsep persatuan imajiner yang mengikat 264 juta orang.
Meminjam istilah Profesor Benedict Anderson dalam buku Imagined Community, kesadaran sebuah bangsa bernama Indonesia bukan karena kita berasal dari ras atau agama sama. Kehendak itu bersumber dari sesuatu yang universal, ikatan abstrak: rasa persaudaraan di antara manusia yang tak saling kenal, tetapi punya imajinasi sama bahwa mereka adalah bagian dari suatu negara bangsa bernama Indonesia.
Seratus sebelas tahun setelah kebangkitan nasional, imajinasi rasa persatuan itu mendapat tantangan akibat kemandekan politik, meningkatnya politik identitas, dan algoritma media sosial.
Kekecewaan politik
Para ilmuwan politik dunia belakangan cemas dengan munculnya fenomena ”defisit demokrasi” di kalangan anak muda. Gejala di mana demokrasi menghadapi krisis legitimasi mendasar. Anak muda, meski percaya demokrasi, mulai tak puas dengan cara demokrasi berjalan. Dua tahun lalu, Roberto Stefan Foa dan Yascha Mounk menerbitkan riset ”The Danger of Deconsolidation: The Democratic Disconnect” di Journal of Democracy.
Terungkap, anak muda kian sinis terhadap pemimpin politik dan sistem demokrasi. Bahkan, mereka tak keberatan dengan sistem otoritarianisme sebagai alternatif. Dukungan atas ide kebebasan bicara menurun, dan dukungan pada radikalisme politik meningkat.
Gejala serupa mulai muncul di Tanah Air. Saiful Mujani dalam Kaum Demokrat Kritis (KPG, 2019) menyimpulkan, gejala defisit demokrasi juga muncul di Indonesia, kombinasi tumbuhnya harapan publik yang kian besar, arus informasi yang banyak menampilkan berita negatif, dan turunnya kinerja lembaga politik.
Peningkatan ekspektasi terjadi akibat bertambahnya jumlah kaum terdidik, melahirkan generasi kritis yang punya harapan lebih besar pada demokrasi. Sementara kebebasan pers dan munculnya medsos yang banyak menampilkan berita negatif bahkan hoaks mendorong orang kian skeptis. Jajak pendapat memperlihatkan, parlemen dan parpol adalah dua lembaga paling tak dipercaya publik.
Absennya kekuatan politik baru membuat kita tak akan menyaksikan perubahan besar di parlemen lima tahun ke depan. Artinya, akan lebih banyak kekecewaan yang jika tak dikelola baik akan kian menjauhkan anak muda dari politik. Padahal, secara elektoral, anak muda 17-35 tahun adalah kekuatan yang bisa memengaruhi arah perjalanan ke depan.
Pada Pemilu 2019, mereka 40 persen dari total pemilih. Dua kali lipat jumlah suara partai pemenang pemilu. Namun, potensi itu terhalang ”involusi politik”: maraknya korupsi membuat anak muda skeptis, tak mau masuk politik, bahkan golput. Akibatnya yang maju dan terpilih politisi lama yang membuat anak muda kian kecewa dan menjauh dari politik. Begitu seterusnya, membuat upaya keluar dari kebuntuan politik kian sulit.
Kekecewaan terhadap politik rentan membawa generasi muda menoleh ke politik identitas. Hasil exit polls memperlihatkan agama menjadi dasar orang menentukan pilihan presiden pada Pemilu 2019. Pemilu ini menghasilkan masyarakat yang terbelah kian dalam, terutama oleh faktor identitas. Penelitian Lembaga Survei Indonesia, Agustus 2018, memperlihatkan 59 persen orang Indonesia tak bersedia dipimpin presiden yang beda keyakinan.
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM Syarif Hidayatullah Jakarta menemukan fakta mencemaskan terkait meningkatnya politik identitas yang mengarah ke sikap intoleran di kalangan generasi Z. Remaja 9-23 tahun rata-rata mengakses internet 3-5 jam per hari, 34 persen setuju orang murtad harus dibunuh, 33,34 persen merasa tindakan intoleransi terhadap minoritas bukan masalah. Dari mana pengetahuan itu, 50,89 persen mengaku dari internet.
Identitas dalam masyarakat modern, menurut Francis Fukuyama dalam Identity (Farrar, Straus, dan Giroux, 2018), dibangun di atas tiga fenomena: (1) thymos, aspek universal kepribadian manusia yang dipenuhi hasrat pengakuan, (2), dengan cara membangun perbedaan antara saya dan orang lain, (3), dengan memperluas konsep identitas yang awalnya didasarkan atas harga diri yang sifatnya personal, menjadi sesuatu yang universal, melalui sebuah proyek politik identitas.
Arus urbanisasi yang cepat, menurut Fukuyama, telah mendorong meluasnya pertanyaan tentang identitas. Anak-anak muda yang tadinya tinggal di perdesaan yang tenang dengan dukungan sosial besar tiba-tiba berhadapan dengan situasi ketidakpastian ketika memutuskan pindah ke kota mencari kerja.
Kegelisahan mencari akar identitas muncul seiring interaksi dengan orang-orang yang datang dari berbagai daerah dan berbicara dengan dialek bahkan bahasa berbeda. Arus deras informasi membuat mereka bingung harus percaya kepada siapa.
Mereka merasa terasing dan sulit bersosialisasi dengan dunia sekelilingnya. Pada saat itulah pertanyaan tentang ”Siapa diri saya, dan seperti apa diri saya?” mulai muncul. Dalam pencarian jawaban itu mereka mulai menggali akar identitasnya, baik yang bersumber dari agama atau suku, untuk menegaskan siapa diri mereka.
Seiring kian derasnya arus urbanisasi, fenomena seperti ini akan terus muncul. Pemerintah memperkirakan pada 2035, jumlah penduduk yang tinggal di kota 66,6 persen. Arus urbanisasi deras—tertinggi di Asia—dan kegelisahan anak muda menghadapi dunia baru di kota membuat politik identitas menguat seiring meluasnya penggunaan medsos.
Terjebak algoritma
Konon, jodoh, perjumpaan, dan perpisahan, kini tak hanya ditentukan Tuhan, tapi juga oleh algoritma medsos. Pada saat berselancar di internet, membaca News Feed Facebook, menerima rekomendasi video di Youtube, atau peluang bertemu seseorang di aplikasi perjodohan, ditentukan oleh algoritma yang membimbing kita dalam buat pilihan.
Kalkulasi matematika memengaruhi kita dalam mengambil keputusan. Kita tak sadar ketika algoritma bekerja. Informasi yang kita lihat di medsos adalah hasil penghitungan algoritma yang secara terus-menerus mempelajari apa yang kita sukai: memasok informasi sesuai standar yang kita sukai dan riwayat pencarian kita sebelumnya.
Perhitungan matematis ini pada akhirnya memandu kita menentukan apa yang kita baca. Mendorong kita hanya membaca hal-hal yang kita sukai, mengontrol arus informasi yang kita terima, membentuk cara berpikir dan memahami peristiwa.
Medsos sebetulnya didesain sebagai ”mesin pengiklan” yang bekerja memanipulasi perhatian manusia dengan tujuan agar pengguna melihat lebih banyak hal yang diasumsikan oleh mesin kecerdasan dan algoritma, disukai.
Cara terbaik memanipulasi perhatian adalah dengan menarik emosi orang agar takut atau marah, dalam rangka meningkatkan lebih banyak engagement. Medsos membanjiri publik dengan disinformasi dan mengikis kepercayaan orang pada nilai-nilai kebenaran yang selama ini dijaga dalam tradisi jurnalisme.
Di medsos, informasi benar dan informasi palsu tampil sama meyakinkan, membuat kita bisa kehilangan orientasi mengenai apa yang benar. Situasi yang mendorong terciptanya post truth di mana orang percaya bahwa kebenaran hanya datang dari orang-orang yang dipercaya. Fakta dan kebenaran bukan lagi hal penting di dunia pasca-kebenaran. Algoritma tak menempatkan kebenaran sebagai hal absolut. Informasi atau kebenaran yang datar tak akan menarik engagement. Kebohongan ekstrem, sensasional, atau teori konspirasi lebih cepat menyebar.
Kemenangan Trump contoh nyata meluasnya kebohongan di medsos yang mengancam demokrasi. Medsos berevolusi jadi media penyebar informasi. Masyarakat kian tergantung pada medsos dalam menerima informasi dan mengikuti perkembangan berita. Pew Research Center dua tahun lalu mencatat, dua pertiga orang Amerika menerima informasi terbaru dari medsos. Lima tahun lalu, Facebook mengalahkan Google sebagai sumber informasi.
Algortima menyuplai ke pengguna informasi yang mereka inginkan, membuat News Feed jadi dunia yang unik— menciptakan ilusi bahwa semua orang punya pandangan sama dengan dirinya. Perhitungan matematis mesin medsos ini memperkecil kemungkinan bagi kita untuk berjumpa dengan ide-ide di luar yang kita sukai.
Mempersempit kemungkinan dialog di antara pendapat-pendapat yang berbeda. Karena itu, muncul fenomena echo chamber, di mana pesan yang disiarkan di medsos hanya beresonansi di antara orang ”se-iman” yang akan saling like, retweet, share, atau berkomentar satu sama lain.
Medsos yang seharusnya membuat masyarakat saling terhubung justru menciptakan sekat. Meminjam istilah Bung Hatta, lewat medsos ”Persatuan yang dicari, Per-selfie-an yang kita dapat”. Bukan dialog, melainkan penonjolan identitas diri atau kelompok. Mirip fenomena maraknya selfie atau swafoto.
Namun, di luar segala problematika itu, medsos punya kontribusi besar dalam demokratisasi informasi. Ia mampu menerabas sensor, membuat biaya penyebaran informasi jauh lebih efisien dan murah. Tak hanya hoaks, informasi yang benar dan bermutu juga lebih cepat dan mudah disebarkan.
Medsos membuat dunia kian terkoneksi, terbuka. Suara-suara, termasuk yang selama ini terpinggirkan, akan lebih punya kesempatan didengar. Ia memberikan kita kekuasaan menentukan apa yang kita baca. Memungkinkan keragaman ide yang luar biasa menyebar cepat dan murah.
Solidaritas sebagai ide tandingan
Lalu bagaimana cara memperkuat kembali persatuan di tengah gempuran politik identitas hari ini? Dalam politik identitas, persatuan dan persaudaraan di dalam kelompok didasarkan pada kesamaan suku atau agama. Untuk menghadapinya, kita perlu mencari atau menghidupkan kembali rumusan yang bisa jadi landasan kehidupan bersama sebagai bangsa. Rumusan universal yang mengatasi sekat-sekat kelompok. Dalam konteks inilah kita perlu merumuskan solidaritas sebagai identitas nasional.
Solidaritas yang didasarkan prinsip kemanusiaan dan dibangun di atas dasar negara demokratis. Banyak orang menoleh ke politik identitas karena merasa ditinggalkan oleh kemajuan, karena perasaan mereka ditampik dalam persaingan yang didasarkan meritokrasi.
Cara terbaik merangkul mereka kembali adalah dengan memberdayakan, memberikan subsidi ke masyarakat tak mampu agar bisa bersekolah dengan tujuan agar mereka berdaya dan punya kesempatan memperbaiki kehidupan.
Solidaritas hanya bisa dibangun di atas politik yang bersih. Korupsi akan membuat orang tak percaya kepada politik, tak percaya kepada partai dan parlemen, yang dalam jangka panjang akan membuat anak-anak muda kian apatis terhadap demokrasi dan berpaling kepada politik identitas. Solidaritas hanya bisa dibangun di atas landasan rasa saling percaya. Perasaan bahwa rakyat tak sedang dikhianati oleh elite yang korup, yang tak peduli ke kehidupan mereka.
Sejumlah ikhtiar sudah dimulai untuk membangun solidaritas dengan memanfaatkan medsos. Platform KitaBisa, Change, JustCoz, Twibbon, Causes, dan DonateYourAccount adalah sejumlah inovasi yang dikembangkan untuk membangun solidaritas sosial. Merekatkan kembali ikatan yang selama ini disekat oleh politik identitas dan algoritma medsos.
Andy Budiman Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia