Kisah Indonesia di Rumah Museum
Museum Perumusan Naskah Proklamasi atau Munasprok di Jakarta menyimpan kisah menjelang bangsa Indonesia mengumumkan kemerdekaannya. Tak hanya itu. Di rumah besar ini, hubungan baik Indonesia dan negara tetangga juga tersimpan.
Pada 12 Mei 2019 sore, sebatang pohon ditanam Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor Leste Moazzam Malik bersama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di halaman depan Munasprok di Menteng, Jakarta Pusat. Pohon spathodea itu menggantikan pohon beringin.
Pohon beringin itu diketahui berusia 76 tahun saat diputuskan ditebang. Pengelola museum menebang pohon beringin pada Maret 2013 setelah angin puting beliung pada 14 September 2010 membuat ranting-ranting pohon beterbangan dan menimpa atap di ruang aula museum.
Usia pohon beringin itu diketahui dari plakat penanaman pohon yang ditemukan saat pembersihan pohon hingga ke akar. Plakat bertanggal 12 Mei 1937 itu menjadi penghormatan dari Konsul Jenderal Inggris di Indonesia atas penobatan Raja George VI.
Duta Besar Moazzam Malik sambil berterima kasih kepada pengelola museum menyatakan, penanaman kembali pohon di halaman museum menjadi penanda perayaan hubungan diplomatik Inggris dan Indonesia. Selain itu, Moazzam menegaskan juga adanya hubungan sejarah yang kuat di dalamnya, termasuk gedung museum.
Menjelang 17 Agustus
Apabila Anda berkendara dari arah RSCM menuju Jalan Imam Bonjol atau dari arah Bundaran Hotel Indonesia menuju Taman Suropati, tengoklah deretan rumah bergaya Eropa di sepanjang Jalan Imam Bonjol dan Jalan P Diponegoro. Di satu sudut jalan, tepatnya di samping gedung Gereja GPIB Paulus, sebuah rumah bergaya Eropa menarik didatangi.
Bangunan besar berlantai dua dan bercat putih dengan bentuk menawan. Tugu putih dengan tulisan merah menjulang di taman depan. Itulah rumah tempat naskah proklamasi kemerdekaan RI disusun. Angka-angka 16–8–45 tercetak besar-besar di jendela atas menandakan momen penting yang terjadi di rumah itu sebelum hari besar pembacaan naskah kemerdekaan Republik Indonesia.
Memasuki gedung yang dibangun pada 1920-an itu, Kamis (16/5/2019), seperti pulang ke rumah sendiri. Adem. Taman rindang di halaman depan menyejukkan mata. Belum lagi suasana sepi. ”Ya, begini kalau masa puasa. Pengunjung yang datang ada, satu dua. Tidak seramai hari-hari biasa,” kata Wahyuni, edukator dari Munasprok di Jalan P Diponegoro.
Bersama Wahyuni, eksplorasi atas bangunan berlantai dua seluas 1.138,10 meter persegi di atas tanah seluas 3.914 meter persegi itu dimulai. Lantaran siang itu tak ada pengunjung, eksplorasi lebih leluasa.
Sebelum eksplorasi, kita bisa membaca di leaflet yang dibagikan. Ada empat ruang utama di lantai satu gedung ini yang memiliki kaitan penting dengan momen bersejarah pada 1945. Begitu memasuki pintu utama, kita akan dibawa ke ruang I yang adalah ruang pertemuan. Lagu-lagu nasional menjadi pengiring perjalanan kita di museum ini.
Di ruang itu, Laksamana Tadashi Maeda menerima Soekarno, Moh Hatta, dan Ahmad Soebardjo setelah kembali dari Rengasdengklok, 16 Agustus 1945, pukul 22.00.
Sesuai sejarah yang tertera di laman museum ini, pada masa pendudukan Jepang hingga Sekutu mendarat di Indonesia pada September 1945, gedung ini menjadi tempat kediaman Maeda, yang saat itu menjabat Kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang. Setelah kekalahan Jepang, gedung menjadi markas tentara Inggris.
Sebelumnya, tahun 1931, pemilik gedung atas nama PT Asuransi Jiwasraya. Ketika pecah perang Pasifik, gedung ini dipakai British Consul General sampai Jepang menduduki Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, gedung ini dinasionalisasi. Gedung diserahkan kepada Departemen Keuangan dan pengelolaannya oleh Perusahaan Asuransi Jiwasraya. Tahun 1961, gedung ini dikontrak Kedutaan Besar Inggris sampai 1981. Setahun berikutnya, gedung ini pernah digunakan oleh Perpustakaan Nasional sebagai perkantoran.
Pada 1984, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto menginstruksikan kepada Direktorat Permuseuman agar merealisasikan gedung bersejarah ini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0476/0/1992 tanggal 24 November 1992, gedung ditetapkan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Dari ruang I, kita akan dipandu ke ruang II yang disebut ruang perumusan. Ruang yang terletak di belakang ruang pertemuan itu merupakan tempat dirumuskannya naskah proklamasi. Dini hari menjelang pukul 03.00, Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo memasuki ruang ini untuk merumuskan konsep naskah proklamasi.
Dari ruang perumusan naskah proklamasi, kita dipandu ke ruang pengetikan atau disebut ruang III. Di ruang yang terletak di bawah tangga itu kita bisa melihat replika sosok Sayuti Melik yang tengah mengetik naskah dengan ditemani BM Diah.
Setelah selesai diketik, naskah yang sudah rapi dibawa ke ruang pengesahan atau ruang IV. Ruangan yang didominasi meja besar dengan sejumlah kursi itu menjadi lokasi Soekarno–Hatta menandatangani naskah proklamasi atas nama bangsa Indonesia. Puluhan orang menyaksikan saat itu.
Di lantai dua tersimpan aneka koleksi buku, pakaian, peralatan, hingga aneka benda yang berhubungan dengan para saksi penandatanganan naskah proklamasi.
Sebuah tangga kayu tersembunyi di balik pintu besar. Semacam menemukan harta karun rasanya karena tangga kayu tua yang curam itu terhubung ke ruang pengetikan.
Gedung besar ini bukan hanya saksi bisu perumusan naskah proklamasi, melainkan juga perundingan-perundingan Indonesia-Belanda terkait perjuangan kemerdekaan setelah 1945. Perundingan dimediasi diplomat Inggris. Rasa bangga dan hormat terhadap pejuang negara membuncah. Gedung itu juga bukan hanya gedung tua indah yang berdiri kokoh di antara gedung bergaya Eropa di kawasan Menteng.
Seperti diungkapkan Moazzam Malik sebelum menanam pohon, gedung Munasprok begitu penting bagi Indonesia lantaran peristiwa bersejarah di dalam gedung ini.
”Gedung ini merupakan bagian sentral dari identitas Indonesia,” tandas Moazzam.
Fasilitas digital
Pengalaman di museum ini makin lengkap setelah menonton video perumusan naskah proklamasi. Video berdurasi 14 menit itu menjadi alat bantu penghubung masa sekarang dengan masa menjelang 17 Agustus 1945. Juga masa saat bapak bangsa berikhtiar memperjuangkan dan menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Selain itu, ada pula aplikasi yang bisa kita unduh di ponsel. Apabila pemindai di aplikasi itu kita arahkan ke kode batang (barcode) di setiap ruangan, terdengar rekaman suara kisah yang tersimpan di ruangan itu. Langkah yang dilakukan sejak 2016 itu menjadi cara pengelola museum untuk menarik pengunjung.
Untuk anak-anak, ada layanan digital termasuk permainan yang disiapkan pengelola tepat di depan pintu utama. ”Kalau yang berkunjung siswa-siswa SD, mereka bisa antre panjang di depan tablet ini untuk bergantian bermain,” kata Wahyuni.
Dengan aneka kekayaan sejarah dan fasilitas, tiket masuk museum ini hanya dibanderol Rp 2.000 untuk dewasa dan Rp 1.000 per orang untuk rombongan lebih dari 20 orang.
Meski dari luar rasanya sepi-sepi saja, jumlah pengunjung museum meningkat. Pada 2017 tercatat 31.486 pengunjung. Pada 2018 ada 34.659 pengunjung. Tahun ini, hingga April, sudah 11.473 orang berkunjung.
”Pengunjung terus meningkat. Selain pengunjung umum, juga anak sekolah banyak yang datang. Mereka ingin tahu juga tentang sejarah dan lokasi perumusan naskah proklamasi,” tutur Wahyuni.
Gedung Munasprok ini menjadi kisah perjalanan bangsa Indonesia sejak 1945 hingga kini.