Manusia memerlukan asupan makanan sebagai kebutuhan primer, termasuk dalam kondisi darurat. Oleh sebab itu, pangan yang masuk ke tubuh tetap harus bergizi dan berkalori meski tidak perlu terlalu lama dimasak. Beragam olahan pangan kemasan untuk situasi darurat ditampilkan dalam Festival Pangan dan Pesta Cendawan Fakultas Teknobiologi Unika Atma Jaya di Tangerang Selatan, Senin (20/5/2019).
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
Manusia memerlukan asupan makanan sebagai kebutuhan primer, termasuk dalam kondisi darurat. Oleh sebab itu, pangan yang masuk ke tubuh tetap harus bergizi dan berkalori meskipun tidak perlu terlalu lama dimasak.
Beragam olahan pangan kemasan untuk situasi darurat ditampilkan dalam Festival Pangan dan Pesta Cendawan Fakultas Teknobiologi Unika Atma Jaya di Tangerang Selatan, Senin (20/5/2019). Sebanyak 12 macam pangan kemasan yang dipamerkan lahir dari gagasan mahasiswa fakultas terkait.
Festival Pangan yang berorientasi pada produk komersial ini digelar tahunan sejak 2008. Dosen pembimbing Fakultas Teknobiologi Unika Atma Jaya, Diana Lestari, mengatakan, festival ini merupakan sarana bagi mahasiswa untuk menjawab tantangan pangan terkini, sekaligus menerapkan ilmu yang sudah didapatkan saat kuliah.
Tema tiap tahun berbeda-beda. Dalam gelaran 2019, tema yang diangkat ialah pangan untuk bertahan hidup. Dosen Fakultas Teknobiologi Unika Atma Jaya, Theodorus Eko Pramudito, berpendapat, tema tersebut diangkat karena Indonesia rawan bencana sehingga kondisi darurat tak terhindarkan.
Selain bencana alam, Theodorus menggambarkan kondisi darurat dapat berupa keadaan yang tidak ideal untuk memasak, misalnya di medan perang. ”Kami menantang mahasiswa untuk berinovasi membuat produk pangan (kemasan) yang sehat, benutrisi seimbang, dan tahan lama untuk situasi darurat,” katanya.
Salah satu produk pangan olahan kemasan yang ditampilkan ialah Mealava. Dalam bungkusan kedap udara dan kedap air, Mealava berisi nasi kari dengan bakso daging isi bumbu kari yang siap disantap begitu kemasan dibuka.
Inspirasi Mealava datang dari ransum TNI. Alberto Septian Wijaya, salah satu mahasiswa anggota kelompok Mealava, mengatakan, timnya sampai merekayasa kemasan yang berbahan dasar lembaran aluminium agar dapat kedap air seperti ransum. Tujuannya, untuk meningkatkan daya tahan makanan hingga satu bulan.
Tak hanya makanan, pangan untuk situasi darurat dapat berupa minuman kental manis. Minuman siap konsumsi ini disajikan dengan merek Cobaco dan berperisa cokelat.
Cobaco berbahan dasar pisang, susu kacang mede, dan oat. ”Pisang merupakan sumber karbohidrat kompleks. Kami juga menambahkan spirulina yang kandungan proteinnya tinggi,” kata Raissa Andra Saputri, mahasiswa anggota kelompok Cobaco.
Pangan kemasan untuk situasi darurat bisa berupa makanan ringan. Konsep ini diusung oleh Chopasti, kudapan keripik yang berisi kacang lentil merah. Kacang lentil merah ini bertekstur menyerupai daging.
Tak diduga-duga, ada kandungan tepung ulat sagu dalam Chopasti. Mercy Herawati, mahasiswa anggota kelompok Chopasti, mengatakan, kandungan protein dalam ulat sagu terhitung tinggi. Berdasarkan survei yang diadakan kelompoknya, mayoritas responden menilai, adanya tepung ulat sagu tidak mengubah rasa pada keripik Chopasti.
Tindak lanjut
Karena menggagas inovasi, pangan olahan yang dipamerkan berbeda-beda tiap tahun. Diana menceritakan, pameran pada 2018 mengharuskan mahasiswa mengolah limbah makanan. Salah satu produk yang berkesan ialah puding berbahan baku tepung kulit pisang.
Theodorus menuturkan, ada satu atau dua produk pangan yang dikembangkan lebih lanjut sebagai bentuk wirausaha ala mahasiswa. Dia juga berharap dapat menggandeng pelaku usaha atau industri makanan-minuman agar inovasi produk pangan dari mahasiswa dapat naik kelas ke skala pabrik.
Mahasiswa dengan ragam ide segar dalam mengolah pangan ini seyogianya berkesempatan terjun ke pasar dan bertemu dengan bermacam-macam selera konsumen. Sungguh sayang apabila inovasi dari pemuda-pemudi ini hanya berakhir di atas panggung pameran.