Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh pada Senin (20/5/2019) di Plaza Tenggara Gelora Bung Karno, Jakarta, sengaja dijadikan momentum untuk menggelorakan semangat persatuan, guna menguatkan ”sense of belonging” anak bangsa.
Oleh
Insan Alfajri
·3 menit baca
”Indonesia adalah pohon yang kuat dan indah. Indonesia adalah langit yang biru dan terang itu. Indonesia adalah mega putih yang lamban itu. Indonesia adalah udara yang hangat itu.”
”Saudara-saudaraku tercinta, laut yang menderu memukul-mukul ke pantai di cahaya senja, bagiku adalah jiwanya Indonesia yang bergerak dalam gemuruhnya gelombang samudera. Bila kudengar anak-anak tertawa, aku mendengar Indonesia. Manakala aku menghirup bunga-bunga, aku menghirup Indonesia. Inilah arti Tanah Air kita bagiku.”
Penggalan kisah autobiografi presiden pertama Soekarno yang ditulis Cindy Adams itu dibacakan dengan lantang oleh budayawan Slamet Rahardjo di Plaza Tenggara Gelora Bung Karno, Jakarta, Senin (20/5/2019). Di sana sedang berlangsung peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) Ke-111.
Penggalan kisah itu tak pelak menggelorakan nasionalisme dan semangat persatuan khalayak yang hadir. Apalagi kisah dibacakan di antara lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” dan lagu-lagu nasional yang dikumandangkan petang itu.
Lagu seperti ”Bagimu Negeri”, ”Bangun Pemuda Pemudi”, ”Rayuan Pulau Kelapa”, ”Kebyar Kebyar”, ”Mars Pancasila”, ”Syukur”, dan ”Berkibarlah Benderaku” pun berkumandang.
Dengan dipimpin musisi Addie MS, massa yang hadir bersama seniman, budayawan, aktor, dan pesohor lainnya itu bersama-sama menyanyikannya.
Selain Addie dan Slamet, hadir pula aktor Landung Simatupang, aktris Christine Hakim dan Ine Febriyanti, serta wartawan senior Goenawan Mohamad.
Peringatan Harkitnas yang jatuh pada hari ini sengaja mereka jadikan momentum untuk menggelorakan semangat persatuan. Slamet menyebutnya menguatkan sense of belonging anak bangsa.
Semangat persatuan itu kini dibutuhkan setelah pilihan politik yang berbeda pada Pemilu Presiden 2019 seakan-akan membelah bangsa. Apalagi jelang Komisi Pemilihan Umum (KPU) menuntaskan tugasnya merekapitulasi hasil Pemilu 2019 pada 22 Mei, kondisi keterbelahan justru kian kentara.
”Jangan gara-gara drama pilpres (pemilihan presiden) kita jadi saling membenci,” ujar konduktor Addie.
Slamet turut mengingatkan tentang kata ”berbakti” dalam lirik lagu ”Padamu Negeri”. Menurut dia, berbakti hanya bisa dilakukan bagi orang yang bersikap di atas masalah. Orang yang sadar betul akan kekurangan dan kelebihan.
Mendendangkan lagu kebangsaan beserta lagu-lagu nasional lainnya, lanjutnya, sekaligus menjadi lonceng pengingat bahwa Indonesia adalah laboratorium pluralisme yang penting untuk dijaga.
Peringatan Harkitnas pun diakhiri dengan pembacaan deklarasi. Mereka menyebutnya Deklarasi Kebangkitan Indonesia.
”Hari ini—dengan rasa kagum dan hormat kepada para penggerak 111 tahun yang lalu itu—kita bertekad melawan kegelapan yang lain: gelap karena kebencian, gelap karena serba curiga, gelap karena kehilangan pikiran kritis dan terbuka,” demikian penggalan deklarasi yang dibacakan Landung Simatupang.
Praktisi hukum senior Nono Anwar Makarim turun dari panggung utama. Ia lantas ikut membacakan deklarasi. Tak banyak komentarnya untuk acara ini. ”Terharu,” kata Nono.
Sejarawan Bonnie Triyana berpendapat, peringatan Harkitnas tahun ini sangat relevan untuk kembali menyatukan bangsa.
Bahkan, jika ditilik pertama kali Harkitnas dirayakan, yaitu tahun 1948, Harkitnas juga dilahirkan Bung Karno untuk menyatukan bangsa. Sebab, saat itu, kondisi politik kacau. Kelompok kiri menguat. Tekanan dari luar negeri juga menajam. Sementara elite di dalam negeri sibuk berantem.
Bung Karno kemudian menunjuk Ki Hadjar Dewantara agar melakukan riset mengenai hal-hal yang bisa menyatukan bangsa. Hasil riset kemudian memberi kesimpulan bahwa Boedi Oetomo menjadi salah satu benih munculnya nasionalisme. Maka, tanggal lahir Boedi Oetomo diperingati sebagai Harkitnas.
Bagi Bonnie, sejarah memang harus bersifat fungsional. Sejarah tidak sekadar materi untuk dikenang. Ia bisa aktual.