JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diharapkan memperbanyak pasokan indukan udang yang bebas penyakit. Hal ini untuk mengantisipasi merebaknya penyakit sindrom kematian dini yang ditimbulkan adanya infeksi Vibrio parahaemolyticus (AHPND).
Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Sutanto, akhir pekan lalu, di Jakarta, mengemukakan, jumlah induk udang dari balai pemerintah belum mencukupi kebutuhan. Saat ini, diperkirakan masih ada 30 persen penggunaan induk udang yang berasal dari tambak. Indukan dari tambak umumnya digunakan pembenihan skala kecil. Namun, indukan tersebut sangat riskan dalam mutu dan sangat berpotensi membawa penyakit.
”Induk berkolerasi dengan penukaran penyakit. Induk dari tambak pembawa penyakit ini bisa menularkan dan menyebarkan penyakit,” kata Iwan.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, kebutuhan induk udang per tahun mencapai 4,5 juta ekor. Dari jumlah itu, kebutuhan induk untuk pembenihan skala kecil mencapai 800.000-1.000.000 ekor per tahun. Namun, produksi induk udang bebas penyakit dari balai-balai perikanan pemerintah hanya sekitar 150.000 ekor. Sebagian besar pasokan induk udang bersumber dari perusahaan swasta atau diimpor.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto mengemukakan, pemerintah akan menambah pasokan induk udang bebas penyakit menjadi 300.000 ekor sampai dengan tahun depan.
”Saat ini (induk udang) 150.000 ekor. Tahun depan, akan ditambah 150.000 ekor lagi,” katanya.
Larangan
Pemerintah berencana merilis surat edaran tentang larangan penggunaan induk udang dari tambak. Induk udang dari tambak berpotensi menularkan penyakit. Pemanfaatan induk dari tambak umumnya terjadi pada usaha pembenihan udang skala kecil (HSRT), antara lain ditemukan di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Lampung.
Slamet mengatakan, langkah larangan pemanfaatan induk dari tambak merupakan bagian dari upaya mengantisipasi merebaknya penyakit EMS/AHPND, dengan mencegah penggunaan induk yang rentan terinfeksi penyakit. Indonesia juga perlu mewaspadai masuknya penyakit lintas batas (transboundary disease) dari negara terjangkit yang dapat mengancam industri perudangan nasional.
AHPND rentan menyerang udang windu (Penaeus monodon) dan udang vaname (Penaeus vannamei) dengan tingkat kematian hingga 100 persen pada udang berumur 30-40 hari setelah tebar di tambak. Gejala indikasi penyakit itu dapat ditemukan di tempat pembenihan seperti pada pasca-larva benur, air bak benur dan induk, pakan alami, dan feses. Sementara pada tambak, dapat ditemukan pada udang, kepiting, air tambak, dan sedimen atau lumpur.
Tahun 2009 AHPND menyerang China. Tahun 2011, AHPND dilaporkan telah menyerang Vietnam dan Malaysia, disusul Thailand (2012), Meksiko (2013), dan Filipina (2015). Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), produksi udang di Thailand dalam kurun tiga tahun merosot akibat serangan AHPND, yakni dari 609.552 ton pada tahun 2013 menjadi 273.000 ton pada tahun 2016. (LKT)