Pangan Berbahaya Meningkat 53 persen
Untuk memasarkan produknya, pelaku menggunakan metode multi level marketing dan penjualan via toko daring.
JAKARTA, KOMPAS - Hasil pengawasan pangan selama bulan Ramadan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan menemukan jumlah pangan bahaya yang beredar meningkat 53 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Peningkatan temuan pangan yang tidak penuhi ketentuan itu dikarenakan semakin meluasnya cakupan pengawasan pangan hingga ke kabupaten/kota.
"Peredaran makanan yang tak memenuhi ketentuan yaitu yang tanpa izin edar atau ilegal, kedaluwarsa, dan rusak, meningkat di bulan puasa. Masyarakat harus waspada dan cermat dalam memilih konsumsi panganan," ujar Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito dalam konferensi pers Pengawasan Pangan Selama Ramadan di Kantor Pusat BPOM, Jakarta, Senin (20/5/2019).
Penny didampingi Pelaksana tugas (Plt) Deputi Pengawasan Pangan Olahan BPOM Tetty H Sihombing, Plt Deputi Bidang Penindakan BPOM Brigadir Jenderal (Pol) Rusli Hedyaman, Kepala Seksi Koordinator Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Polda Metro Jaya Komisaris Mujiono, dan staf Divisi Keamanan Negara Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Maruli Daniel.
Untuk mengantisipasi peredaran makanan yang tidak memenuhi ketentuan, BPOM melakukan pengawasan intensif sejak 22 April lalu. Pengawasan itu dilakukan oleh 33 Balai Besar/Balai POM di seluruh provinsi serta 40 kantor BPOM di kabupaten/kota.
Sampai dengan 10 Mei 2019, BPOM telah memeriksa 1.834 sarana ritel dan distribusi pangan yang terdiri dari 1.553 saran ritel dan 281 sarana gudang distributor/importir.
Dari pemeriksaan itu, ditemukan 170.119 makanan tidak memenuhi ketentuan. Yang tergolong tidak memenuhi ketentuan adalah makanan yang kemasan produknya rusak, kedaluwarsa, dan tidak berizin atau ilegal. Adapun total nilainya mencapai Rp 3,4 miliar.
Jumlah temuan itu meningkat 53,87 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada bulan Ramadan tahun lalu, BPOM menemukan 110.555 makanan yang tidak memenuhi ketentuan dengan nilai keekonomian mencapai Rp 2,2 miliar.
"Peningkatan jumlah dan nilai keekonomian temuan tersebut merupakan hasil dari semakin meluasnya cakupan pengawasan intensifikasi pangan hingga kabupaten/kota setelah sebelumnya hanya di provinsi," terang Penny.
Jumlah temuan itu meningkat 53,87 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Pangan kedaluwarsa banyak ditemukan di Kendari, Jayapura, Mimika, Palopo, dan Bima. Adapun jenis makanan kedaluwarsa yang banyak ditemukan adalah produk susu kental manis, sirup, tepung, makanan ringan, dan biskuit.
Sedangkan makanan rusak banyak ditemukan di Palopo, Banda Aceh, Bima, Kendari, dan Gorontalo. Jenis produk pangan yang rusak yang ditemukan antara lain susu kental manis, sereal, minuman teh, ikan dalam kemasan kaleng, dan minuman berperisa.
Produk pangan tak berizin atau ilegal banyak ditemukan di Kendari, Tangerang, Makassar, Baubau, dan Banjarmasin. Makanan ringan, garam, cokelat, air minum dalam kemasan, dan air berperisa banyak ditemukan tak berizin.
"Daerah-daerah itu dekat dengan perbatasan negara ataupun daerah yang punya akses barang dari negara lain, sehingga daerah itu banyak disusupi produk-produk pangan tidak jelas," jelas Penny.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman mengatakan, meningkatnya peredaran makanan tak sesuai ketentuan mengindikasikan dua hal. Yang pertama adalah kinerja pengawasan BPOM meningkat sehingga jumlah temuan makanan tak memenuhi syarat juga meningkat.
Namun peningkatan temuan pangan tak sesuai ketentuan juga bisa bermakna, makin banyak pelaku dan peredaran makanan tak sesuai pangan.
"Bisa juga kedua hal itu yang sebenarnya terjadi," ujar Adhi.
Adhi mengatakan, pelaku produsen ataupun distributor pangan tak sesuai ketentuan itu biasanya adalah industri kecil. Adapun industri besar berupaya lebih patuh ketentuan.
"Produsen besar itu punya merek. Mereka sadar harga sebuah merek itu mahal sekali. Jadi merrka harus merawat dan mengembangkannya," ujar Adhi.
Ia mengatakan, pihaknya bersama BPOM terus mengimbau masyarakat untuk selalu cermat dalam memilih makanan.
Takjil
Selain mengawasi pangan di gudang distributor, retail, dan importir, BPOM juga mengawasi makanan jajanan buka puasa atau takjil di pasaran. Dalam mengawasi, BPOM mengambil 2.804 sampel di berbagai kota.
Hasilnya terdapat 83 sampel atau 2,96 persen takjil tidak memenuhi syarat. Takjil itu tak memenuhi syarat karena mengandung bahan kimia berbahaya bagi tubuh seperti formalin, boraks, dan rhodamin B. Makanan takjil itu antara lain agar-agar, minuman berwarna, pangan jenis mi dan kudapan.
Temuan takjil yang tak menenuhi syarat itu menurun jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada periode bulan puasa tahun lalu, BPOM menemukan 5,34 persen takjil yang tidak memenuhi syarat.
"Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran dan pemahaman akan bahan pangan yang aman dari pedagang takjil," ujar Penny.
Tindak pidana
Selain melakukan pengawasan produk pangan tak penuhi ketentuan, BPOM bersama PPNS dan Kepolisian Daerah Metro Jaya, menindak pemilik produk kopi merek "Pak Belalang" yang mendistribusikan barangnya yang telah kedaluwarsa.
Pada 16-17 Mei lalu, tim gabungan ketiga institusi ini mengamankan 190.000 sachet produk kopi "Pak Belalang" dari berbagai varian rasa yang telah kedaluwarsa di Perumahan Bona Indah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Adapun barang bukti produk itu memiliki nilai keekonomian sebesar Rp 1,4 miliar. Aparat juga menahan pemilik produk ini yang diketahui berkewarganegaraan Malaysia.
Rusli menjelaskan, modus operandi produk ini adalah mengubah tanggal kedaluwarsa. Pelaku menghapus dua digit terakhir tahun kedaluwarsa pada kotak kemasan produk. Selain itu, pelaku juga menggunting label kedaluwarsa pada kemasan sachet produk.
"Jadi mereka memasarkan barang yang sudah kedaluwarsa. Namun, agar tidak ketahuan, mereka mengganti tanggal kedaluwarsanya. Misalnya kedaluwarsa 2018 tapi diganti jadi 2020," ujar Rusli.
Pemasaran daring
Untuk memasarkan produknya, pelaku menggunakan metode multi level marketing dan penjualan via toko daring.
"Ini bukan modus baru tetapi BPOM bersama aparat penegak hukum akan terus mendalami kasus ini," ujar Rusli.
Selain mengedarkan produk kedaluwarsa, aparat penegak hukum menilai setidaknya ada tiga pelanggaran hukum lainnya yang dilakukan pelaku. Yang pertama adalah kopi ini diimpor tanpa surat keterangan impor (SKI) dari BPOM.
"Ada pendapatan negara yang hilang dari biaya impor yang tidak mereka bayar," ujar Penny.
Pelanggaran kedua adalah kemasan produk ini mencantumkan tulisan, "Rajanya Kopi Nusantara".
"Padahal ini produk impor. Klaim sepihak ini merugikan pelaku UMKM produsen kopi lokal kita," jelas Penny.
Sedangkan pelanggaran hukum ketiga adalah produk label produk tidak sesuai dengan Nomor Izin Edar (NIE) yang disetujui BPOM.
Akibat pelanggaran-pelanggaran ini, BPOM akan mencabut NIE produk kopi Pak Belalang karena melanggar administratif. Selain itu, pelaku terbukti melanggar Pasal 99 juncto Pasal 143 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Agar masyarakat bisa mengonsumsi pangan yang aman, Penny menganjurkan masyarakat untuk teliti dan cermat dalam memilih produk pangan. Penny menganjurkan masyarakat untuk mencermati "KLIK" yang merupakan akronim dari kemasan, label, izin edar, dan kedaluwarsanya.
"Beli produk pangan di tempat ritel yang jelas, higienis, dan terdaftar. Warga harus waspada saat beli produk pangan melalui situs belanja daring," ujar Penny.