Perkuat Peran Semua Pihak hingga Tingkat Paling Bawah
Anak-anak sangat berisiko mengalami kekerasan, baik secara fisik, emosional, maupun seksual. Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2018, yang menemukan dua dari tiga anak dan remaja berusia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya, seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Anak-anak sangat berisiko mengalami kekerasan, baik secara fisik, emosional, maupun seksual. Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2018, yang menemukan dua dari tiga anak dan remaja berusia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya, seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak bahwa hingga kini perlindungan anak masih sangat lemah.
Temuan 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan fisik, 1 dari 2 anak laki-laki dan 3 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan emosional, serta 1 dari 11 anak perempuan dan 1 dari 17 anak laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual membuktikan bahwa anak-anak sangat berisiko mengalami kekerasan.
Apalagi, survei yang diluncurkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Selasa (7/5/2019), itu menemukan, tingginya proporsi anak yang mengalami kekerasan menunjukkan, tingkat keterpaparan berbagai program perlindungan anak, termasuk informasi dan layanan pencegahan kekerasan terhadap anak, masih sangat rendah.
Proporsi anak yang mengalami kekerasan menunjukkan, tingkat keterpaparan berbagai program perlindungan anak, termasuk informasi dan layanan pencegahan kekerasan terhadap anak, masih sangat rendah.
Dari survei yang mencakup 11.410 individu (dari target 13.920 individu) yang tersebar di 232 kecamatan di 150 kabupaten/kota di 32 provinsi, ditemukan hanya 12-24 persen anak dan remaja mengetahui adanya layanan untuk mengantisipasi kekerasan. Hanya 10-22 persen yang mampu menunjukkan layanan (kesehatan, kepolisian/keamanan, hukum, konseling, rumah aman, dan lainnya) yang dibutuhkan ketika mengalami kekerasan.
”Ketika ditanyakan apakah mereka tahu informasi tentang hak dan perlindungan anak, tidak banyak anak-anak yang tahu. Ditanya kalau mengalami kekerasan menggunakan layanan apa, ternyata hanya sedikit yang mengakses layanan yang ada,” ujar Ignatius Praptoraharjo, Koordinator Tim Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2018, Rabu (8/5/2019).
Mengundang pertanyaan
Temuan survei tersebut seharusnya menjadi bahan refleksi bersama, tetapi sekaligus mengundang sejumlah pertanyaan. Misalnya, seberapa jauh upaya-upaya pencegahan kekerasan sudah sampai pada anak-anak? Mengapa tingkat keterpaparan informasi rendah? Bukannya selama ini ada sejumlah program dan layanan perlindungan perempuan dan anak (PPA) korban kekerasan hingga tingkat daerah?
Menteri PPPA Yohana Yembise dalam laporan empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla menyebutkan, hingga 2018, unit pelaksanaan teknis daerah PPA telah terbentuk di 12 provinsi dan 15 kabupaten/kota, pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak tersebar di 34 provinsi dan 390 kabupaten/kota, serta pelayanan oleh kepolisian melalui unit PPA di tingkat polres sebanyak 2.150 unit.
Bahkan ada program pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak di perdesaan melalui perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat yang hingga 2018 terbentuk di semua provinsi di 136 desa, 68 kabupaten. KPPPA juga memberikan bantuan mobil perlindungan dan sepeda motor perlindungan di 34 provinsi dan kabupaten/kota.
Untuk pemenuhan hak partisipasi dan meningkatkan peran anak, hingga kini dibentuk Forum Anak secara berjenjang, mulai tingkat nasional hingga desa/kelurahan. Anak dilatih menjadi sebagai pelopor dan pelapor (PP). Dari sisi pemerintah daerah, KPPPA terus mendorong daerah untuk mewujudkan kabupaten/kota layak anak, sekolah ramah anak, puskesmas dengan pelayanan ramah anak, dan sejumlah program lain untuk meningkatkan perlindungan anak di daerah.
Untuk pemenuhan hak partisipasi dan meningkatkan peran anak, hingga kini dibentuk forum anak secara berjenjang, mulai tingkat nasional hingga desa/kelurahan.
Di tingkat pemerintah daerah, sesungguhnya dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah daerah melahirkan berbagai regulasi dan kebijakan untuk perlindungan anak, mulai dari peraturan daerah hingga peraturan gubernur/bupati/wali kota, tentang perlindungan anak. Bahkan ada yang secara khusus menerbitkan peraturan tentang pencegahan perkawinan anak yang juga menjadi pintu masuk kekerasan terhadap anak.
Karena itu, jika sampai saat ini semua program pemerintah masih belum menyentuh semua anak, tentu ini menjadi tantangan terbesar bagi pemerintah. Yohana berulang kali menegaskan, pemerintah tak bisa berjalan sendiri dalam perlindungan anak. Semua pihak harus terlibat. Apalagi, posisi kementeriannya hanya bersifat koordinator dengan anggaran sangat terbatas.
Namun, yang jelas, menurut Deputi Perlindungan Anak KPPPA Nahar, hasil survei tersebut menjadi masukan penting bagi pemerintah. Hal itu sejalan dengan tujuan SNPHAR 2018, yakni mengukur tingkat pengetahuan dan penggunaan layanan medis, psikososial, hukum, dan perlindungan yang tersedia bagi anak korban kekerasan serta mengukur tingkat keterpaparan terhadap berbagai program perlindungan anak.
Soal masih rendahnya layanan pencegahan kekerasan terhadap anak di daerah, itu karena layanan tersebut belum tersedia di semua daerah. Selain itu, sumber daya manusia dan sarana-prasarana juga masih terbatas serta penanganannya masih parsial. Saat ini hanya ada delapan rumah aman yang dimiliki Kementerian Sosial, sedangkan lembaga pembinaan khusus anak baru ada di tempat tertentu di setiap provinsi.
Soal masih rendahnya layanan pencegahan kekerasan terhadap anak di daerah, itu karena layanan tersebut belum tersedia di semua daerah. Sumber daya manusia dan sarana-prasarana juga masih terbatas serta penanganannya masih parsial.
”Kami akan membagikan hasil survei ini kepada kementerian/lembaga yang terkait,” ungkap Nahar.
Kesadaran berbicara
Tingginya proporsi anak yang mengalami kekerasan yang ditemukan dalam SNPHAR 2018 memang tidak berarti angka kekerasan terhadap anak terus meningkat. Ini seperti pendapat Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto. Hal tersebut menggambarkan kesadaran dari korban dan keluarga untuk melapor dan berbicara yang terus meningkat.
Meskipun demikian, survei tersebut seharusnya semakin mendorong peran aktif pemerintah daerah hingga ke tingkat paling bawah dalam melindungi anak-anak dari berbagai kekerasan. Pemerintah desa/kelurahan hingga tingkat rukun tetangga/rukun warga yang menjadi garda terdepan perlindungan anak haruslah diperkuat.
Tak heran, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi selalu mendorong, selain penguatan peran pemerintah di desa/kelurahan, juga pelibatan semua unsur masyarakat dalam perlindungan anak. Bahkan, di sejumlah daerah, pembentukan seksi perlindungan anak di tingkat RT/RW dinilai efektif mencegah kekerasan terhadap anak.
Di luar itu, sebenarnya ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah desa dengan mendukung program perlindungan anak melalui dana desa. Untuk itu, dibutuhkan komitmen dan langkah konkret semua pihak dalam melindungi anak dari berbagai kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Karena itu, mewujudkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual harus menjadi bagian dari komitmen DPR, pemerintah, dan semua pihak demi melindungi anak dari kejahatan seksual.