Dari Bandung, Jawa Barat, kekayaan lokal Indonesia semakin melanglang buana lewat balutan gim. Mulai dari geraman kuntilanak hingga teriakan pedagang tahu bulat, diajak menaklukkan dunia.
Eldwin Viriya (30), pendiri dan CEO Own Games, tidak menyangka jika Tahu Bulat, gim yang dibuat untuk mengisi waktu luang bersama adiknya, Jefvin Viriya (25), kini merambah dunia. Dikembangkan sejak 2016, Tahu Bulat kini telah diunduh lebih dari lima juta kali.
Lebaran kali ini, wajah Tahu Bulat mendapat penyegaran. ”Setiap jelang Lebaran, unduhan Tahu Bulat bisa meningkat dua kali lipat. Karena itu, kami memberikan pembaruan tampilan yang berbeda,” tuturnya di Bandung, Sabtu (11/5/2019).
Pasca-pembaruan, gim ini diunduh 5.000 kali per hari. Di hari biasa, gim ini hanya diunduh sekitar 3.000 kali. Pembaruan itu di antaranya gambar latar yang lebih detail menggambarkan ikon kota besar Indonesia tempat tahu bulat dijajakan. Fitur anyar, seperti berdagang es cendol, juga muncul guna menambah keuntungan.
Tak ingin berhenti di Tahu Bulat, tahun 2017, Own Games meluncurkan Own Coffee Shop. Kopi khas Indonesia ikut dikenalkan di sana. Total gim ini sudah diunduh satu juta kali di Google Playstore.
Istimewanya, lebih dari separuh pengunduh berasal dari luar negeri. Sekitar 10.000 pelanggan berasal dari Amerika Serikat dan Brasil. AS adalah negara konsumen kopi dunia dan Brasil produsen kopi wahid di dunia.
Konten lokal juga jadi senjata ampuh Digital Happiness menarik massa. DreadOut jadi andalan utama. Diluncurkan Mei 2014, gim yang dipasarkan lewat kanal Steam, salah satu raksasa distributor gim dunia, gagah bersaing di pasar global. Penghasilannya di atas 1 juta dollar AS.
DreadOut memilih horor sebagai genre utama. Namun, berbeda dengan genre yang sudah ada sebelumnya, konten legenda urban Nusantara, seperti pocong dan kuntilanak, jadi pemeran utama.
”Amerika punya zombi. Eropa punya vampir. Di Jepang ada Yurei. Sementara Indonesia juga memiliki hantu ikonik tak kalah menarik,” ujar pendiri Digital Happiness, Rachmad Imron (40).
Pilihan itu tidak keliru. Dalam sembilan hari, DreadOut diunduh hingga 80.000 kali. Semakin menjadi, dalam sebulan pertama, gim ini menghasilkan 150.000 dollar AS. Penghasilan itu terus meningkat menjadi 500.000 dollar AS (sekitar Rp 7 miliar) dalam setahun. Untuk melebarkan sayap, Digital Happiness lantas mengembangkan DreadOut 2 dan DreadOut: Keepers of The Dark.
Ada juga DreadEye, gim virtual reality pertama mereka. Pada 2016, Digital Happiness juga bekerja sama dengan produsen ponsel pintar. Imron enggan menyebut nominal lisensi DreadOut. Baginya, yang lebih membanggakan adalah saat hak kekayaan intelektual produk Digital Happiness telah diakui.
Tiga tahun berselang, DreadOut juga naik ke layar lebar. Ini menjadi pertama kalinya gim lokal Indonesia diproduksi menjadi film. Sedikitnya 800.000 orang merasakan ketegangannya di bioskop. Kesuksesan DreadOut tak membeku di industri gim semata. Gim bisa memberi ide bagi apa saja.
Berkembang
Studio Agate tahu benar semangat itu. Berdiri 10 tahun lalu, pengembang gim lokal ini tak melulu mengembangkan permainan. Menelurkan banyak gim bergengsi, Agate piawai membuat gamifikasi untuk beragam keperluan konsumen sejak 2010.
Gamifikasi semacam penerapan teknik dan strategi lewat gim. Tujuan mendorong pengguna terlibat lewat perilaku yang diinginkan. Metode ini erat kaitannya dengan peningkatan partisipasi, motivasi, dan prestasi pengguna. Gamifikasi sudah diterapkan dalam pendidikan dan berbagai perusahaan.
”Setidaknya 150 perusahaan sudah bekerja sama dengan kami. Tahun ini ada pesanan gamifikasi dari 30 perusahaan,” kata Chief Marketing Officer Agate, Shieny Aprilia (32).
Lewat tangan dan ide kreatif, gim tak layak lagi dipandang sebelah mata. Lebih dari sekadar pelepas penat, gim bisa berkontribusi besar untuk manusia bangsa ini kelak. (RTG/TAM/SEM)