Forum multaqo ulama, habaib, pimpinan pondok pesantren, dan organisasi Islam se-Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menilai, gerakan pengerahan massa pada Rabu (22/5/2019) tidak perlu dilakukan.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Forum multaqo ulama, habaib, pimpinan pondok pesantren, dan organisasi Islam se-Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menilai, gerakan pengerahan massa pada Rabu (22/5/2019) tidak perlu dilakukan. Masyarakat diminta menjaga kondusivitas dan menyerahkan pada proses hukum jika ditemukan permasalahan dalam pemilu.
Multaqo atau pertemuan ulama itu digelar di sebuah gedung pertemuan di Jalan Tuparev, Cirebon, Senin (20/5/2019) sore. Turut hadir antara lain Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Cirebon KH Bachrudin Yusuf, Pengasuh Ponpes Dar al-Tauhid Arjawinangun KH Husein Muhammad, Pengasuh Ponpes Khas Kempek KH Musthofa Aqiel Siroj, dan Wakil Ketua DPRD Cirebon Yuningsih.
Ketua pelaksana KH Mukhlisin Muzarie mengatakan, para kiai dan ulama di Jabar memandang situasi kehidupan berbangsa saat ini berpotensi menimbulkan konflik. ”Bahkan sampai ke disintegrasi akibat persaingan dalam pemilihan presiden dan pemilihan legislatif setelah pemilu kemarin,” ujarnya.
Multaqo diharapkan dapat menjaga kondusivitas masyarakat Cirebon dan mencegah pengerahan massa yang bersifat destruktif. Apalagi, berdasarkan isu yang beredar di media sosial, pengerahan massa (people power) akan dilakukan pada Rabu mendatang, batas akhir rekapitulasi suara pemilu, di Kantor Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.
”Pimpinan ormas Islam dan tokoh agama di Cirebon selalu bertemu. Kalau pimpinan rukun, masyarakat juga akan rukun,” ujar Mukhlisin.
KH Musthofa menilai, masyarakat Cirebon masih kondusif. Namun, lanjutnya, ulama tetap harus mengingatkan umat agar tidak melakukan hal yang merugikan masyarakat.
”Untuk apa people power? Rasanya tidak perlu. Jika tidak puas dengan pemilu, silakan tempuh jalur hukum. Kita semua sudah dewasa, harus ikuti undang-undang,” ujarnya.
Dia mengingatkan, meskipun digempur radikalisme dan terorisme, Indonesia saat ini masih menjadi contoh negara berpenduduk Muslim yang kondusif. Ini berbeda dengan negara Islam lain di Timur Tengah yang masih dibelenggu konflik tak berkesudahan.
”Radikalisme mau masuk ke Indonesia. Mereka mengatasnamakan Islam. Mari kita jaga persatuan bangsa,” ujarnya.
Dalam pertemuan itu, para ulama juga menandatangani surat pernyataan hasil multaqo yang berisi delapan poin. Pertama, umat Islam diminta memanfaatkan bulan Ramadhan sebagai momentum meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT dan senantiasa berdoa untuk keamanan bangsa dan negara.
Kedua, masyarakat diminta mempererat silaturahmi sesama anak bangsa, memperkokoh persaudaraan sesama Muslim, persaudaraan antarmanusia, dan menghindari fitnah serta perpecahan. Ketiga, meneguhkan komitmen terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika karena sesuai dengan ajaran Islam.
Keempat, berkomitmen menjaga stabilitas keamanan, perdamaian, serta kerukunan dan tidak mempertajam perbedaan yang kontraproduktif. Kelima, para ulama siap menerima hasil Pemilu 2019. Jika ditemukan permasalahan, mereka akan menyerahkannya pada proses hukum serta tidak melakukan aksi pengerahan massa yang inkonstitusional.
Selanjutnya, menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku di NKRI dan menghormati ulil amri sah sesuai ajaran Islam. Ketujuh, memandang aksi inkonstitusional bertentangan dengan ajaran Islam dan dapat mengarah pada tindakan bughot atau pemberontakan. Terakhir, para ulama akan menyosialisasikan hasil multaqo dalam berbagai forum.
Sebelumnya, Cirebon menjadi perhatian karena seorang warga setempat diduga membuat dan menyebarkan ujaran kebencian dan hoaks. Pada Senin (13/5/2019) lalu, IAS (49), warga Sumber, Cirebon, ditangkap polisi karena diduga membuat dan menyebarkan video bermuatan ujaran kebencian dan hoaks. Video tersebut diduga kuat terkait dengan Pemilu 2019.
Video berdurasi 1 menit 57 detik itu, antara lain, berisi seruan ungkapan provokatif yang membenturkan TNI dan Polri. IAS juga mengungkapkan, 22 Mei merupakan hari ulang tahun Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal, informasi itu tidak benar.