Xenofobia dan Pendidikan Kewargaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, xenofo- bia adalah perasa- an benci (takut, waswas) terhadap orang asing atau sesuatu yang belum dikenal.
Dampak sosial xenofobia adalah merebaknya atmosfer kebencian dan ketidakpercayaan masyarakat. Penumpukan rasa kebencian ini bisa mengarah kepada tindak kekerasan terhadap manusia lain yang dipandang berbeda dan menjadi ancaman dalam skala kecil maupun besar. Luapan xenofobia dari waktu ke waktu sudah menjadi bagian dari sejarah kelam peradaban manusia.
Di antaranya kejahatan kemanusiaan pada masa Nazi pada periode 1933-1945, peledakan bom di beberapa gereja di Surabaya, terorisme yang dilandasi islamofobia di Selandia Baru, dan bom bunuh diri pada saat Paskah di gereja, di Sri Lanka.
Ancaman terorisme terus menghambat gerak maju peradaban manusia. Saat beberapa manusia bertekad memilih jalan kekerasan sebagai penyelesaian berbagai persoalan hidup—dan tidak bisa lagi diyakinkan mengenai harapan dan nilai perdamaian sebagai solusi—kita bisa dan wajib menaburkan benih-benih kebajikan dan perdamaian serta keterampilan hidup di kalangan anak muda agar terorisme tidak menjadi pilihan di Indonesia.
Xenofobia dan migrasi
Saat ini di Indonesia tampak beberapa ekspresi xenofobia yang merupakan akibat dari taktik politik jangka pendek, reproduksi serta penyebaran berita bohong dan kebencian pada era pasca-kebenaran. Pernyataan sentimen antiasing bertebaran di media sosial.
Perdebatan tenaga kerja asing berputar soal keterdesakan pekerja lokal oleh pekerja asing dan perilaku kurang santun oleh sebagian pendatang asing. Pelbagai tuduhan sudah dibantah pemerintah.
Demikian pula berbagai data jumlah-rasio tenaga kerja asing (TKA) dibandingkan dengan tenaga kerja Indonesia (TKI) serta TKA dibandingkan dengan jumlah pekerja lokal sudah dibeberkan. Namun, ungkapan kebencian terhadap yang asing terus menggelinding di media sosial.
Ibarat kotak yang sudah telanjur dibuka oleh Pandora, berbagai keburukan sudah berhamburan ke luar. Kita tentunya berharap setelah 17 April, bisa kembali ke titik nol dan melanjutkan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat sebagai sesama warga negara.
Namun, harapan ini terasa naif karena ingatan kolektif masyarakat sudah dikotori oleh caci maki, hujatan, narasi kebohongan yang sudah dilontarkan oleh banyak kalangan—tua-muda, kaya-miskin, bergelar tinggi—bahkan tokoh agama/masyarakat. Bahrul Fuad, seorang aktivis difabel mempertanyakan di media sosialnya, ”Siapa yang nanti bertanggung jawab membersihkan sampah dan kotoran pasca-Pemilu 17 April?”
Xenofobia tak menguntungkan di era di mana migrasi merupakan suatu keniscayaan dalam dunia yang makin tak berbatas. Jumlah orang yang menetap di negara atau kota/kampung/desa yang bukan tempat kelahirannya makin meningkat. Menurut Global Migration Data Portal, pada tahun 2017, sebanyak 258 juta migran tersebar di seluruh dunia, sementara data migrasi antarwilayah di Indonesia terus meningkat.
Arus migrasi tidak lagi hanya menuju Jakarta dan kota-kota besar di Jawa. Saat ini, Indonesia timur juga menjadi tujuan migrasi. Lahan-lahan pertambangan, perkebunan, dan wisata di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat, dan Papua membuka lapangan pekerjaan baru dan menarik pekerja migran, bukan hanya migran domestik, melainkan juga dari mancanegara.
Untuk mencegah munculnya konflik sosial, perlu agenda proaktif yang dibangun dan dilaksanakan dalam kerja sama pemerintah pusat dan daerah, korporasi, ormas, dan lembaga pendidikan.
Peran strategis sekolah
Hidup berdamai dengan manusia lain yang tampak berbeda (budaya, suku, ras, dan agama) membutuhkan keberanian dan pembiasaan keluar dari zona nyaman. Sekolah mempunyai peran strategis mengatasi fenomena xenofobia untuk membangun identitas kebangsaan dan kesadaran kewargaan.
Sekolah bisa menjadi wahana pertemuan anak-anak dari berbagai latar belakang. Di banyak daerah, sekolah-sekolah negeri masih menjadi sarana pendidikan utama atau bahkan satu-satunya di mana anak penduduk lokal dan pendatang bersama-sama belajar kehidupan.
Bahkan di kawasan transmigrasi atau industri baru, banyak guru adalah pendatang, umumnya dari Jawa, Nusa Tenggara Timur (NTT), Toraja, dan Maluku. Sayangnya, di banyak kota besar, peserta didik sudah tersegregasi dalam sekolah-sekolah yang berafiliasi agama.
Yang menggembirakan, sudah ada inisiatif dari beberapa pemimpin sekolah untuk mengajak peserta didik keluar dari tembok sekolah dan melintasi jembatan perdamaian melalui berbagai program interaksi antarsekolah yang berbeda afiliasi. Inisiatif ini perlu diperbanyak dan dijadikan bagian dari pendidikan kewargaan.
Anak muda perlu merasakan pengalaman berinteraksi dengan orang lain yang berbeda dan menyadari bahwa orang mempunyai kebutuhan dasar manusiawi yang sama. Bahwa dunia yang mereka warisi menyisakan berbagai ketimpangan dan persoalan ketidakadilan ekonomi dan sosial, hal itu merupakan kenyataan yang mesti mereka hadapi dan ubah dengan segala daya akal budi.
Ada dua kekuatan penggerak manusia dalam setiap kelompok (kelas, suku, ras, agama, jender, bahasa, dan golongan), yakni kebencian atau cinta kasih. Yang digerakkan oleh kebencian selalu terdorong untuk memamerkan sisi jahat dalam kelompoknya sendiri ataupun kelompok di luar dirinya.
Sebaliknya, yang digerakkan oleh cinta kasih terpanggil untuk mengatasi kebencian dan kemarahan dan menebarkan kasih dan perdamaian. Pendidikan karakter seyogianya mengajak peserta didik untuk mengolah dua energi ini dan mengarahkan anak untuk menumbuhkan nilai-nilai kebajikan dan perdamaian.
Di sisi lain, pengajaran ilmu-ilmu matematika, pengetahuan alam dan sosial bisa membekali anak dengan kecerdasan dan keterampilan untuk menghadapi berbagai ketidakadilan di dunia dan permasalahan kehidupan.
Melalui pendidikan kewargaan, peserta didik belajar bahwa terlepas dari warna kulit, bentuk mata, tekstur rambut, atau bentuk pakaian yang berbeda, warga negara mempunyai hak asasi manusia, hak-hak sipil, dan kewajiban yang sama.
Pengalaman anak berinteraksi dengan anak lain dari kelompok yang berbeda akan menumbuhkan kesadaran terhadap ikatan kemanusiaan dan komitmen untuk merawat bumi sebagai rumah bersama.
Anita Lie Guru Besar FKIP Unika Widya Mandala, Surabaya