Dewan Pers Baru Hadapi Deretan Tugas Berat
Selasa ini sembilan anggota Dewan Pers periode 2019-2022 dilantik. Pemberantasan berita-berita hoaks menjadi pekerjaan utama mereka.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah masa jabatan Dewan Pers periode 2016-2019 diperpanjang hingga tiga bulan, Presiden akhirnya menerbitkan Keputusan Nomor 33/M Tahun 2019 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pers. Ke depan, Dewan Pers periode 2019-2022 masih memiliki tugas berat, salah satunya mengantisipasi peredaran berita-berita hoaks.
Pemberantasan berita-berita hoaks masih menjadi pekerjaan utama yang harus dihadapi anggota Dewan Pers periode 2019-2022. Apalagi, sekarang tumbuh begitu banyak media abal-abal yang sebagian besar tidak memenuhi standar perusahaan pers.
“Seperti Pilpres 2014, menjelang Pilpres 2019 kemarin juga bermunculan media abal-abal yang sengaja dibentuk untuk kepentingan politik. Kasihan masyarakat yang tidak tahu-menahu, ada yang tidak pernah diwawancarai tetapi kemudian dikutip seenaknya lalu yang bersangkutan tiba-tiba dipanggil polisi,” kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley, Senin (20/5/2019), di Jakarta.
Untuk meminimalisasi peredaran berita hoaks, Dewan Pers periode 2019-2022 akan melanjutkan program Uji Kompetensi Wartawan dan Verifikasi Perusahaan Pers. Dengan memperketat penyaringan wartawan-wartawan profesional serta media-media terpercaya, diharapkan berita-berita yang dihasilkan akan semakin kredibel dan terpercaya.
Untuk meminimalisasi peredaran berita hoaks, Dewan Pers periode 2019-2022 akan melanjutkan program Uji Kompetensi Wartawan dan Verifikasi Perusahaan Pers.
Sesuai Keppres Presiden Nomor 33/M Tahun 2019, hari ini akan digelar serah terima jabatan anggota Dewan Pers 2016-2019 kepada anggota Dewan Pers 2019-2022 di Gedung Dewan Pers, Jakarta.
Sembilan anggota Dewan Pers lama, meliputi Hendry CH Bangun, Nezar Patria, Ratna Komala, Ahmad Djauhar, Anthonius Jimmy Silalahi, Reza Dedi Utama, Imam Wahyudi, Sinyo Hary Sarundajang, dan Yosep Adi Prasetyo. Adapun anggota Dewan Pers 2019-2022 meliputi dua petahana yaitu Hendry CH Bangun dan Ahmad Djauhar serta tujuh anggota baru, yaitu Arif Zulkifli, Jamalul Insan, Agung Darmajaya, Asep Setiawan, Agus Sudibyo, Hassanein Rais, dan Mohammad Nuh.
Dorong kebebasan pers
Stanley memastikan, Dewan Pers baru akan tetap melanjutkan program unggulan penyusunan Indeks Kebebasan Pers. Bahkan, untuk mendorong kebebasan pers, Dewan Pers mewakili Indonesia akan menjadi anggota International Programme for the Development of Communication (IPDC), sebuah lembaga di bawah UNESCO yang fokus pada perlindungan wartawan.
Terlepas dari segala macam masalah kebebasan pers yang belum teratasi, beberapa negara, seperti Malaysia dan Ethiopia meminta Dewan Pers Indonesia untuk menjadi konsultan dalam pembentukan Dewan Pers di negara mereka.
“Beberapa waktu lalu negara-negara di Benua Afrika meminta Dewan Pers Indonesia berbagi pengalaman terkait upaya Indonesia mengembangkan kebebasan pers. Dewan Pers Indonesia juga diminta mengawal pembentukan Dewan Pers Malaysia oleh Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad,” ujarnya.
Dewan Pers Indonesia juga telah menandatangani nota kesepahaman dengan Thailand dan Timor Leste, dua negara yang tengah mengawal perwujudan kebebasan pers di negara mereka. Saat ini telah mengemuka pembentukan Dewan Pers Asia Tenggara di mana Indonesia telah dinominasikan menjadi ketua dan Timor Leste sebagai wakilnya.
Di tingkat internasional, Dewan Pers masih memiliki tugas berat untuk menuntaskan pertanyaan UNESCO tentang sederetan kasus-kasus impunitas lama kematian wartawan Indonesia. Seperti diketahui bersama, Reporters Without Borders, organisasi pemantau media di Paris masih menempatkan Indeks Kebebasan Pers di Indonesia di peringkat ke-124 dari 180 negara.
Di tingkat internasional, Dewan Pers masih memiliki tugas berat untuk menuntaskan pertanyaan UNESCO tentang sederetan kasus-kasus impunitas lama kematian wartawan Indonesia.
Antisipasi pemidanaan UU ITE
Sebelumnya, Ketua Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Airlangga Herlambang P Wiratraman mengingatkan tantangan serius lainnya terkait kebebasan pers, yaitu pemberlakuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) beberapa tahun terakhir yang cenderung menyebarkan ketakutan berlebihan kepada publik, termasuk awak media.
”Instrumen hukum UU ITE begitu mudahnya digunakan untuk menyerang kebebasan berekspresi warga negara, tak terkecuali karya-karya jurnalistik,” kata dia.
Herlambang mengusulkan agar proses selanjutnya diupayakan melalui gugatan keperdataan atau gugatan ganti rugi secara proporsional, bukan melalui pemidanaan. Proporsional dalam konteks gugatan tersebut adalah gugatan yang tidak mengubur atau membungkam kebebasan pers.
Belajar dari sejumlah kasus yang ada, menurut Herlambang, penyelesaian (sengketa pers) melalui peradilan pidana harus dihapus karena pasal-pasal pidana digunakan bukan untuk mendukung jaminan kebebasan pers, melainkan sebaliknya untuk menekan pers. Selain itu, pasal-pasal pemidanaan di KUHP sering dipakai sebagai dasar hukum untuk menyerang pers yang pemberitaannya dinilai merugikan pihak tertentu.
Penyelesaian sengketa pers melalui peradilan pidana harus dihapus karena pasal-pasal pidana digunakan bukan untuk mendukung jaminan kebebasan pers, melainkan sebaliknya untuk menekan pers.
Menurut Direktur Eksekutif The Institute for Digital Law and Society Awaludin Marwan, dua tahun terakhir media yang banyak tersandung kasus pidana khususnya hukum siber adalah media-media daring. Pasal yang paling banyak disematkan adalah Pasal 27 Ayat 3 UU ITE tentang informasi elektronik atau dokumen elektronik yang dianggap bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik.