Gajah Butuh Zona Demografi untuk Bertahan dari Kepunahan
Oleh
Ahmad Arif/Ichwan Susanto
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Upaya konservasi fauna besar yang tingkat perkembangbiakannya lambat dengan hanya didasarkan pada besaran populasi, dinilai akan gagal melindungi mereka dari ancaman. Zona demografi untuk melindungi fauna besar, seperti gajah Sumatera, dibutuhkan agar keberagaman genetiknya tetap terjaga sehingga tidak mencapai ambang kritis.
“Ambang kritis (critical thresholds) merupakan batas dimana populasi yang mendekati kejatuhan, sebelum jumlahnya terus turun hingga ke tahap yang tidak bisa kembali pulih,” kata Shermin de Silva, pendiri lembaga konservasi gajah Asia, Trunks & Leaves, dalam siaran pers, Minggu (19/5). "Kami mengusulkan agar upaya konservasi gajah Asia dan megafauna lain yang pembiakannya lambat dilakukan dengan mempertahankan zona demografi yang aman (demographic safe space).”
Kajian yang dikakukan lembaganya dan dipublikasikan di jurnal Frontiers in Ecology and Evolution ini menunjukkan, tanpa memiliki ruang aman demografi maka fauna besar seperti gajah tidak akan mampu bertahan dari kepunahan karena akan terus mengalami pertumbuhan negatif hingga populasinya mencapi ambang kritis. "Sejarah membuktikan hal ini," sebut de Silva.
Studi genomik terhadap fosil mamut yang diisolasi dari Pulau Wrangel, antara Rusia dan Alaska membuktikan hal ini. Mamut di Pulau Wrangel m punah paling belakangan, yaitu sekitar 4.300 tahun lalu atau 6.000 tahun setelah mamut di tempat lain punah. “Meskipun mamut di Wrangel bertahan ribuan tahun melampaui kepunahan populasi daratan dengan hanya 300 spesies, mereka telah mengakumulasikan banyak mutasi genetik (akibat pernikahan dalam kerabat dekat) yang akhirnya berkontribusi pada kepunahan mereka," kata de Silva.
Sejarah mamut ini bisa jadi pelajaran penting dalam strategi konservasi gajah. Seperti diketahui, gajah Asia diklasifikasikan sebagai "terancam punah" di bawah Daftar Merah Badan Konservasi Dunia atua IUCN karena populasinya diperkirakan menurun setidaknya 50 persen dalam waktu kurang dari satu abad. "Ada kurang dari 50.000 gajah liar Asia yang hidup hari ini,” kata dia.
Studi itu juga menunjukkan gajah liar Asia berkembang biak sangat lambat, mayoritas menghasilkan hanya satu anak dalam enam tahun atau lebih lama. Dengan memakai pemodelan matematika, de Silva dan rekannya menemukan reproduksi optimal dan kelangsungan hidup anak gajah yang tinggi jadi syarat untuk mempertahankan pertumbuhan populasi fauna ini agar tidak negatif dan tiba pada ambang batas populasi.
“Harus ada langkah untuk meningkatkan kelangsungan hidup anak gajah, dan terutama betina, sebagai kunci untuk menyelamatkan gajah Asia,” tegas de Silva.
Harus ada langkah untuk meningkatkan kelangsungan hidup anak gajah, dan terutama betina, sebagai kunci untuk menyelamatkan gajah Asia.
Akan tetapi, saat perhatian dunia difokuskan pada perdagangan gading, ancaman terbesar gajah Asia adalah hilangnya habitat yang diikuti oleh perdagangan ilegal hewan hidup dan bagian-bagiannya.
Hilangnya habitat dapat menciptakan sesuatu yang dikenal sebagai hutang kepunahan (extinction debt) sehingga memperlambat tingkat kelahiran dan meningkatkan tingkat kematian. Umur panjangnya dapat mengaburkan risiko kepunahan, padahal bisa jadi populasi saat ini mendekati ambang kritis.
Sudah bertahan
Dihubungi terpisah, Sunarto, peneliti dan ekolog satwa World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Senin (20/5/2019), menyambut baik kajian ini. “Tapi kalau itu diterima secara ilmiah, kita punya pekerjaan rumah besar untuk menjadikannya sebagai kebijakan dan aksi. Belum lagi adanya hutang kepunahan akibat perusakan habitat yang sudah lama dialami fauna besar seperti gajah Sumatera. Perlu program penghapusan hutang kepunahan,” ungkapnya.
Upaya konservasi untuk spesies besar dengan perberkembangbiakan lambat lainnya badak hingga orang utan harusnya juga dapat dikakukan dengan pembuatan ruang aman demografi, sebagaimana usulan untuk gajah. Untuk itu upaya mengidentifikasi titik kritis demografis dan bagaimana mempertahankan populasi dalam ruang aman mereka menjadi sangat penting.
Sebagian fauna besar di Indonesia seperti badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), yang statusnya critically endangeredsejak 2008, dikhawatirkan saat ini sudah di bawah ambang kritis dan menunggu waktu untuk punah karena besaran populasinya terlalu kecil tidak memungkinkan lagi untuk berkembang. Fenomena itu disebut dalam biologi sebagai allee effect.
Kecilnya populasi menyebabkan peluang terjadinya perkawinan sangat terbatas. Kalaupun terjadi cenderung insest sehinngga bisa melahirkan individu yang tidak sehat. Ditambah lagi, badak sumatra sanga sulit bereproduksi dan sangat sensitif dengan makanannya.
Dikonfirmasi terkait riset tentang gajah Asia – termasuk gajah sumatera, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno mengatakan harapan peningkatan populasi gajah di alam berada di Aceh dan sebagian Sumatera Utara. Pada daerah-daerah yang telanjur mengalami tekanan hebat pada habitat gajah sebagai dampak pembangunan seperti di Riau dan Jambi, peningkatan populasi gajah menjadi pekerjaan rumah sangat berat.
Ia pun menyinggung beberapa waktu lalu terdapat kematian gajah di Jambi yang diduga kuat terbunuh. Gajah itu terbunuh di lokasi calon koridor atau penghubung antara kawasan hutan dengan kawasan hutan dilindungi lain yang terfragmentasi.
Ia pun mengatakan dalam pengaturan tata ruang seharusnya manusia menata ulang perencanaannya bila mengenai wilayah atau jalur lalu-lintas gajah. Ini karena gajah memiliki insting untuk selalu mengulang rutenya.
“Kasus (konflik gajah-manusia) di Tanggamus sudah tiga tahun maju-mundur (tidak selesai) karena ring-nya di situ,” ungkapnya.
Bila sudah telanjur, butuh upaya penanganan lebih sistematis dan tuntas dalam penyelesaiannya. Pilihannya, warganya dipindahkan menjauh dari lokasi jalur gajah atau warga disadarkan untuk membagi hasil panen dengan gajah liar.
Di luar suasana negatif ini, kata dia, ada embusan kabar positif dari Barumun Nagari Wildlife Sanctuary di Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. Calon pemegang izin lembaga konservasi itu, pada 29 April 2015, menyelamatkan 6 ekor gajah karena kondisi kesehatan yang buruk. Selanjutnya BNWS memutuskan untuk mendirikan tempat perlindungan gajah hasil konflik.
Barumun Nagari Wildlife Sanctuary melakukan perawatan dan rehabilitasi terhadap gajah yang terlibat konflik. Selama masa rehabilitasi Tim BNWS berfokus pada tiga hal, yaitu kebutuhan gizi, pemantauan kondisi kesehatan, dan pendampingan kondisi post traumatic stress disorder (PTSD).
Inisiatif-inisiatif masyarakat seperti ini merupakan modal dan semangat yang menumbuhkan harapan untuk menyelamatkan populasi mamalia besar, termasuk gajah. Apalagi sebagian wilayah jelajah fauna ini berada di luar kawasan yang relatif tak terlindungi dan rentan beralih fungsi.