Kemacetan di Jalan Jenderal Sudirman belum berkurang signifikan karena area parkir di kawasan itu berlimpah dan tarifnya murah.
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan masyarakat merasakan kemacetan di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, berkurang sejak transportasi massal cepat moda raya terpadu beroperasi akhir Maret 2019. Meskipun perubahan itu dinilai belum signifikan, fenomena tersebut menunjukkan minat masyarakat untuk menggunakan angkutan umum terus meningkat dengan layanan transportasi umum yang terus diperbaiki.
Untuk terus mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum, diperlukan kebijakan tegas yang mempersulit masyarakat menggunakan angkutan pribadinya. Selain itu, sistem pembayaran angkutan umum perlu terus diperbaiki agar pengguna merasa lebih hemat ketimbang naik kendaraan pribadi.
Hal itu tampak dalam pengamatan di Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (21/5/2019). Perjalanan menggunakan angkutan umum pun berlangsung lebih singkat daripada biasanya.
Zulkifli (23), petugas keamanan pintu masuk Stasiun MRT Senayan, mengungkapkan, kemacetan lalu lintas dari Bundaran Senayan hingga kawasan Semanggi kini berkurang, terutama saat jam sibuk, yakni pukul 07.00-09.00 dan pukul 17.00-19.00. Sebelum MRT beroperasi, kemacetan saat jam sibuk mengakibatkan kendaraan bermotor hampir tidak bergerak. Kini, kecepatan kendaraan pada jam sibuk sekitar 20 kilometer per jam.
Pernyataan serupa juga disampaikan Andri (35), petugas keamanan di depan Ratu Plaza. ”Macetnya hanya saat jam pulang kantor,” ucapnya, Selasa (21/5/2019).
Pengendara sepeda motor, Anastasia (27), yang hampir setiap hari melintasi Jalan Jenderal Sudirman, merasakan bahwa kemacetan di sana berkurang sejak MRT beroperasi, terutama di kawasan sekitar Universitas Katolik Atma Jaya hingga kawasan Sudirman Central Business District (SCBD).
”Dulu bisa sampai berhenti di jalan. Sekarang sudah lebih lancar. Kecepatan motor pun bisa mencapai 30-40 kilometer per jam,” ucapnya.
Sebelumnya, Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta M Kamaluddin menyatakan, jumlah penumpang MRT mencapai hampir 80.000 orang per hari saat hari kerja dan 90.000 orang per hari pada akhir pekan. Jumlah itu di atas target harian yang tahun ini ditetapkan 65.000 orang per hari.
Target itu akan ditingkatkan dari tahun ke tahun. Pada 2020, jumlah penumpang MRT ditargetkan 91.000 orang per hari. Kemudian pada 2021 target itu meningkat menjadi 117.000 orang per hari.
Mengurangi kendaraan pribadi
Yoga Adiwinarto, pengamat transportasi serta Country Director Institute for Transportation & Development Policy (ITDP), menyatakan, tujuan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi harus didukung oleh kebijakan yang mempersulit masyarakat menggunakan kendaraan pribadinya. Beberapa di antaranya dengan mengurangi fasilitas parkir kendaraan pribadi dan meningkatkan biayanya.
Baginya, kemacetan di Jalan Jenderal Sudirman belum berkurang secara signifikan karena area parkir di kawasan itu berlimpah dan tarifnya murah. Menurut surveinya, area parkir yang disediakan gedung-gedung di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan MH Thamrin dapat menampung hingga 38.000 mobil.
”Artinya, Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan MH Thamrin mengundang masyarakat menggunakan kendaraan pribadinya,” kata Yoga.
Selain banyaknya tempat parkir yang tersedia, tarifnya pun relatif murah. Banyak kantor swasta menyubsidi karyawannya dengan tarif parkir langganan. Akibatnya, beberapa karyawan pun tidak perlu membayar tarif parkir sama sekali.
”Meskipun MRT dan sarana transportasinya sudah disediakan, kalau tidak ada kebijakan yang memperketat penggunaan kendaraan pribadi, sama saja bohong. Kedua langkah itu, dari pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dan penambahan pasokanangkutan umum, harus jalan bersamaan,” tutur Yoga.
Sebagai solusi, ia mengusulkan agar tarif parkir di area dekat stasiun MRT dinaikkan hingga 14.000 per jam. ”Tarif MRT paling mahal, kan, Rp 14.000. Sementara itu, orang naik mobil hanya bayar Rp 4.000 per jam untuk parkir. Masa orang naik mobil lebih murah daripada naik kendaraan umum?” kata Yoga.
Sistem pembayaran
Untuk memastikan layanan MRT dapat dinikmati seluruh kalangan masyarakat dan bukan hanya kelompok dari kelas tertentu, Yoga mengatakan, sistem pembayaran seluruh angkutan umum perlu dibenahi agar harganya tidak terlalu tinggi.
Sehari-hari, Yoga menggunakan angkutan umum untuk pergi dari rumahnya yang berada di Cipete Utara, Jakarta Selatan, ke wilayah Gondangdia, Jakarta Pusat. Karena itu, ia naik angkot dari rumahnya ke Stasiun MRT Blok A dan membayar Rp 4.000. Kemudian, ia naik MRT dari Stasiun Blok A hingga Stasiun Bundaran HI dan membayar Rp 9.000. Terakhir ia naik dua bus Transjakarta dari Bundaran HI hingga Gondangdia dan membayar dua kali Rp 3.500.
Dengan demikian, total biaya yang dibayar Yoga untuk pergi ke kantornya sebanyak Rp 20.000. Untuk pulang, ia juga membayar Rp 20.000 sehingga biaya harian transportasi Yoga Rp 40.000.
Pengalaman Yoga di atas menunjukkan adanya sesuatu yang tidak lazim dalam sistem pembayaran transportasi umum di Jakarta secara keseluruhan. Dengan menggunakan MRT, Yoga hanya membayar Rp 9.000 untuk menempuh jarak sekitar 8 kilometer. Tetapi, untuk menempuh jarak 3 kilometer dengan menggunakan bus dan angkot, Yoga harus membayar Rp 11.000 atau lebih mahal daripada MRT.
”Ini lucunya. Biaya transportasi umum justru bisa lebih mahal untuk jarak dekat,” kata Yoga.