Ratusan hektar sawah di Kabupaten limapuluh Kota, Sumatera Barat, terancam kekurangan air, karena sebagian besar sistem irigasi sawah yang digerakkan kincir air rusak dipicu tambang. Hasil panen petani menurun drastis lima tahun terakhir.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
LIMAPULUH KOTA, KOMPAS -- Kerusakan daerah aliran sungai Batang Sinamar, Limapuluh Kota, Sumatera Barat, akibat tambang pasir liar mengancam pertanian padi di kabupaten lumbung padi Sumatera Barat itu. Ratusan hektar sawah terancam kekurangan air, karena sebagian besar sistem irigasi sawah yang digerakkan kincir air rusak dipicu tambang. Hasil panen petani menurun drastis lima tahun terakhir.
Menurut sejumlah petani di Nagari Koto Tangah Simalanggang dan Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh, yang menggantungkan irigasi sawah dari Batang Sinamar, aktivitas tambang pasir memicu semakin derasnya aliran air dan pengikisan dasar sungai. Akibatnya, lantak (bendungan bambu) yang menahan air untuk menggerakkan kincir mudah rusak. Semakin curamnya tebing sungai karena pengikisan dan dangkalnya sungai yang juga dipicu kerusakan sungai menyulitkan kincir berputar dan menjangkau air.
“Sebelum maraknya tambang, lantak bisa bertahan dua hingga tiga tahun. Sekarang hanya hitungan bulan, bahkan minggu. Pengikisan pasir menyebabkan lantak kehilangan pijakan sehingga mudah hanyut ketika air besar datang,” kata Suwarli (70), petani di Koto Tangah Simalanggang, Minggu (19/5/2019).
Aktivitas tambang paling marak terjadi di Kecamatan Harau yang berbatasan dengan Payakumbuh. Menurut Camat Harau Andri Yasmen, Senin kemarin, setidaknya ada tiga nagari yang menjadi lokasi tambang pasir liar oleh masyarakat sekitar, yaitu Lubuak Batingkok, Koto Tuo, dan Batu Bolang. Namun, Andri mengaku tidak tahu jumlah pemilik atau jumlah titik yang menjadi pelabuhan para penambang.
Perubahan pada Batang Sinamar menyebabkan para petani frustasi untuk membuat ataupun merawat kincir air. Menurut perhitungan Usman Kalik (67), petani di Koto Tangah Simalanggang, dari 17 kincir di Koto Tangah Simalanggang dan Taeh Baruah, tersisa delapan kincir.
Sebagian yang tersisa terbengkalai karena lantaknya rusak. Satu kincir bisa mengairi hingga dua puluhan petak sawah. Petani yang punya modal beralih ke pompa air, meskipun mahal dan airnya tidak kontinyu, sedangkan yang tidak punya terpaksa mengandalkan hujan.
Kondisi tersebut menyebabkan sawah sering kekurangan air. Bahkan, kering sama sekali. Di Jorong Tambun Ijuk, misalnya, dari puluhan petak sawah, separuhnya telah berganti dengan ladang jagung karena tidak mendapat pasokan air. Bandar air irigasi beton bantuan dari pemerintah kering dan diselimuti semak.
“Saya sejak dua tahun terakhir menanam jagung di sawah. Bagaimana hendak menanam padi, air susah,” kata Musrizal (62), petani di Taeh Baruah, Senin. Musrizal sekarang tidak lagi punya kincir karena lantaknya sering rusak.
Kurangnya pasokan air menyebabkan jumlah batang padi dalam satu rumpun sedikit dan kerdil. Bulir padi yang dihasilkan juga banyak yang hampa karena kekurangan air.
Berdasar hitungan sederhana dengan aplikasi Google Earth, lebih dari 200 hektar sawah yang berpotensi terdampak kerusakan irigasi di dua nagari itu. Perhitungan itu belum memasukkan nagari-nagari di Kecamatan Harau yang juga dilewati Batang Sinamar.
Produksi menurun
Para petani mengaku hasil panen padi menurun beberapa tahun terakhir karena sulit mendapatkan air. Endisman, petani di Taeh Baruah, misalnya, biasanya mendapatkan hasil panen hingga 1.000 gantang (1 gantang setara 1,4 kilogram beras) dari tiga petak sawah dengan 10 gantang benih. “Sekarang untuk dapat 500 gantang saja sudah banyak,” kata Endisman.
Hal serupa dialami pula Kalik, yang mengaku hasil panennya turun hingga 60 persen. Dampaknya, Kalik sekeluarga semakin sering membeli beras. Kurangnya pasokan air menyebabkan jumlah batang padi dalam satu rumpun sedikit dan kerdil. Bulir padi yang dihasilkan juga banyak yang hampa karena kekurangan air.
“Dua panen terakhir, sawah saya gagal panen. Saat padi butuh air, kincir saya rusak,” ujarnya. Kalik menggarap 12 petak sawah dengan benih 40 gantang.
Suwarli mengaatakan, meskipun sebagian petani beralih menggunakan pompa air, pasokan air tidak semaksimal kincir air. Pasokan air dari mesin pompa tidak kontinyu karena tidak bisa hidup sepanjang hari. Sementara itu, kincir air berputar setiap saat dan airnya bisa diatur sesuai kebutuhan.
“Kalau dengan pompa air, saya harus keluar uang untuk beli bensin. Dalam sehari, bisa habis 10 liter dengan masa hidup mesin 8 jam. Pas dihitung-hitung saat panen, uangnya hanya habis untuk biaya mesin,” ujar Suwarli.
Irigasi
Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Limapuluh Kota, Masmariel, Senin, mengakui, irigasi masih menjadi persoalan dalam pertanian padi di Limapuluh Kota. Kondisi itu menyebabkan indeks pertanaman (IP) di kabupaten itu masih 2,3 dari target 2,5-3 yang ditetapkan pemerintah.
Menurut Masmariel, Limapuluh Kota belum memiliki irigasi teknis, yang lebih ideal, karena kondisi lahan yang berbukit. Hal itu menyulitkan pembangunan irigasi. Karena irigasi belum bisa diatur, ada sawah yang tidak ditanami padi dan diganti tanaman lain karena tidak mendapatkan air.
“(Sebenarnya kincir air) bisa (menjadi solusi). Kincir masih banyak dipakai oleh masyarakat. Kendalanya sekarang kan aliran air sungai yang tidak bagus karena tidak aturan terkait orang mengambil pasir,” kata Masmariel.
Berdasarkan data BPS Sumbar, produksi padi di Limapuluh Kota menurun dalam tiga tahun terakhir. Setelah mencapai puncak pada 2015 dengan produksi 227.184 ton, produksi padi terus menurun. Secara berurutan, produksi padi tahun 2016, 2017, dan 2018, yaitu 226.170 ton, 210.452 ton, dan 164.657 ton.