Pangan, sandang, dan papan adalah kebutuhan dasar sekaligus tolok ukur kesejahteraan sebuah bangsa. Sementara tujuan dibentuknya negara, salah satunya menyejahterakan rakyat.
Patut disyukuri kebutuhan papan sebagian masyarakat ndonesia bisa dipenuhi melalui subsidi berskema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), kini menginjak tahun ke-9. Dana yang telah disalurkan Rp 40,46 triliun dan sampai Mei 2019 rumah yang telah dibiayai mencapai 615.716 unit. Angka itu belum termasuk subsidi selisih bunga (SSB) yang disalurkan sejak 2017 dan telah membiayai ratusan ribu rumah subsidi.
SSB bukanlah dana bergulir seperti FLPP. Artinya, dana SSB ‘habis’ setiap tahun. Sementara FLPP dirancang agar pada titik tertentu program tak lagi memerlukan asupan APBN. Namun, batas dana bergulir FLPP agar tidak perlu lagi kucuran APBN tidak jelas, meski setiap tahun dana yang dikucurkan triliunan rupiah.
Salah satu sebabnya, jumlah masyarakat berpenghasilan rendah yang jadi sasaran terus bertambah. Selain itu, ada faktor lain yang memengaruhi harga dan jumlah rumah subsidi yang bisa dibiayai, yakni bunga kredit bank, harga material, dan harga lahan.
Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) digadang-gadang menjadi solusi pembiayaan jangka panjang. Meski demikian, bertumpu sepenuhnya pada UU Tapera yang kemudian melahirkan Badan Pengelola Tapera juga tidak tepat. Sebab, saat ini cakupan program masih terbatas di pegawai negeri sipil (PNS).
Rumah subsidi yang terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah lokasinya jauh dari pusat kota. Hal ini berarti beban pembeli rumah subsidi bertambah, tak hanya angsuran kredit rumah, tetapi juga ongkos transportasi yang tak sedikit. Sebab, lokasi rumah umumnya jauh dari akses jalan utama sehingga mengandalkan kendaraan pribadi. Ada catatan lain, yakni kualitas rumah bisa jadi tidak layak huni karena konstruksinya tidak memenuhi standar.
Di sisi lain, dengan harga rumah yang dipatok pemerintah, pengembang akan mencari lahan yang semurah mungkin. Tujuannya, seluruh biaya produksi tetap berada di bawah patokan harga. Tentu saja pengembang berhak mengambil untung atas rumah yang dijualnya.
Sampai sekarang belum ada rencana induk penyediaan perumahan untuk dijalankan secara nasional dan pemerintah hanya berkutat di hilir.
Sementara itu, masalah kekurangan hunian (backlog) paling besar terjadi di perkotaan. Dengan lahan yang terbatas, penduduk kota bertambah besar karena urbanisasi. Laju urbanisasi selama 1960-2014 rata-rata 4,4 persen per tahun. Pada 2015, sebanyak 52 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan dan akan terus meningkat. Dengan kenyataan ini, mengapa program subsidi rumah hanya berkutat di pembiayaan dan menyerahkannya pada mekanisme pasar?
Rumah atau hunian memerlukan lahan. Sementara harga lahan sangat tinggi dan seperti tidak terkendali. Lahan atau tanah telah ditempatkan sebagai komoditas dan kehilangan fungsi sosialnya. Semisal di wilayah Jakarta dan beberapa kota di sekitarnya, rata-rata kenaikan harga lahan kurun 2010-2014 mencapai 24,54 persen.
Akibatnya, harga rumah atau hunian pun melambung tinggi. Tentu, unsur spekulasi untuk mendapat untung tinggi menjadi satu pendorongnya. Masyarakat berpenghasilan rendah pun mendapat dampak: rumah subsidi kian terpinggirkan.
Padahal, Undang-Undang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa pemerintah perlu lebih berperan dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. UU tersebut juga menyadari, pertumbuhan dan pembangunan wilayah yang kurang memperhatikan keseimbangan bagi kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah mengakibatkan kesulitan bagi mereka untuk memperoleh hunian yang layak dan terjangkau.
Namun, sampai sekarang belum ada rencana induk penyediaan perumahan untuk dijalankan secara nasional. Pemerintah hanya berkutat di sisi hilir dengan terus menyediakan subsidi yang tampak seperti menggarami lautan tanpa masuk ke masalah dasarnya, yaitu lahan.
Padahal, mekanisme ini justru semakin memperdalam ketimpangan sementara keuntungan finansial justru dinikmati pihak pengembang, perbankan, bukan masyarakat berpenghasilan rendah. Apakah ini akan diteruskan?