JAKARTA, KOMPAS – Hasil Pemilihan Umum 2019 menunjukkan peta kekuatan Joko Widodo dan Prabowo Subianto tidak banyak berubah dibandingkan saat 2014. Hal itu membuat pembelahan preferensi politik antar provinsi semakin tajam. Unggulnya Jokowi dan Prabowo di sejumlah wilayah itu didongkrak oleh mesin politik partai yang fokus menggarap wilayah basis saat kampanye.
Hasil rekapitulasi pemilihan presiden oleh Komisi Pemilihan Umum yang resmi diumumkan di Jakarta, Senin (20/5/2019), menunjukkan, Jokowi dan Prabowo kembali unggul di provinsi yang merupakan wilayah basis mereka sejak 2014. Jokowi-Ma’ruf Amin kembali menang telak di tiga provinsi teratas yaitu Bali (91,7 persen), Papua (90,6 persen), serta di Nusa Tenggara Timur (88 persen).
Pada 2014, provinsi-provinsi itu juga menjadi wilayah basis Jokowi. Namun, perolehan suara Jokowi-Amin di ketiga wilayah itu sekarang meningkat. Sebagai perbandingan, pada 2014, di Bali, Jokowi unggul dengan suara 71,42 persen, di Papua 72,49 persen, dan NTT 65,92 persen.
Sementara itu, Jokowi-Amin kalah telak dari Prabowo-Sandiaga Uno yang unggul di Sumatera Barat (85,95 persen), Aceh (85,59 persen), serta Nusa Tenggara Barat (67,89 persen). Ketiga wilayah itu juga provinsi unggulan Prabowo saat maju di Pilpres 2014. Dari ketiga wilayah itu, Prabowo berhasil memperkukuh suaranya di Aceh dan Sumbar. Dibandingkan 2014, selisih perolehan suara Prabowo dengan Jokowi semakin lebar.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Amin, Arsul Sani, mengatakan, TKN sengaja menerapkan strategi mengutamakan wilayah basis saat kampanye. TKN memaksimalkan mesin partai dan relawan di wilayah yang dikenal sebagai basis suara Jokowi sejak 2014, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, serta wilayah Indonesia bagian timur.
Sementara, wilayah non-basis yang selama ini identik dengan Prabowo, seperti Sumatera Barat dan Riau, tidak menjadi fokus perhatian TKN. Saat masa kampanye terbuka, misalnya, Jokowi-Amin tidak mendatangi Sumbar secara khusus.
“Pembelahan antar wilayah semakin menguat di pilpres kali ini. Kami sejak awal sadar, sia-sia jika menghabiskan energi untuk menggarap wilayah basis lawan yang belum tentu akan menghasilkan suara,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin (20/5/2019).
Ada beberapa wilayah basis Prabowo yang ikut menjadi fokus TKN, seperti Jawa Barat dan Banten. Namun, di kedua provinsi itu, Jokowi tetap kalah dari Prabowo. Di Banten, Prabowo-Sandiaga mendapat suara 61,54 persen sementara Jokowi-Amin mendapat 38,46 persen. Sementara, di Jabar, Prabowo-Sandiaga mendapat 59,93 persen, sedangkan Jokowi-Amin 40 persen.
Capaian Jokowi dan Prabowo di wilayah-wilayah basis itu juga berbanding lurus dengan capaian partai asal mereka, PDI-P dan Gerindra. Sebagai contoh, di Bali, PDI-P juga menang telak dengan 1.257.590 suara. Sebaliknya, di Sumbar, perolehan suara PDI-P hanya 86.423 suara, kalah dari Gerindra yang menang telak di sana dengan 336.944 suara.
Sementara itu, Juru Bicara BPN Prabowo-Sandi Andre Rosiade mengatakan, keunggulan suara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Banten ditengarai sebagai akibat identitas lama yang muncul lagi dan dimanfaatkan sedemikian rupa oleh elit politik.
Menurutnya, pemilih di ketiga wilayah itu cenderung punya karakteristik yang mirip. Kesamaan itu cenderung ada pada kondisi pemilih di tiga daerah tersebut pada masa lalu yang cenderung identik sebagai basis Masyumi. Hal ini membuat masyarakat cenderung tidak merespon dengan maksimal ideologi yang diusung partai politik utama pengusung Jokowi-Amin.
Ia menambahkan, keunggulan Prabowo-Sandi atas Jokowi-KH Ma’ruf di tiga daerah tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari kerja keras partai-partai koalisi yang menyosialisasikan program-program unggulan Prabowo-Sandi. Andre melihat hal itu relatif berhasil sekalipun sebagian kepala daerah di Sumatera Barat mendukung Jokowi-KH Ma’ruf.
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana menilai, kondisi pembelahan dan pemetaan kekuataan yang semakin jelas di daerah itu tidak sepenuhnya buruk. Di satu sisi, pembelahan sosial yang semakin mengakar di masyarakat memang menjadi tantangan yang harus dihadapi setelah dua kali perhelatan pemilu dengan capres yang sama.
Namun, di sisi lain, karakteristik masyarakat antar provinsi yang semakin jelas pembedanya dapat memudahkan pemerintah dalam memetakan dan menerapkan kebijakan serta program yang sesuai.
“Semua terpulang pada kelihaian presiden terpilih dan timnya dalam mengelola dengan baik kebijakan di setiap provinsi tersebut dengan memperhatikan kondisi sosial politik di setiap wilayah, serta memperlakukan semua wilayah secara adil, meski bukan wilayah basisnya saat pemilu,” ujarnya.