Pemohon menilai organisasi profesi saat ini harus ada yang mengawasi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan uji materi terhadap sebagian pasal pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pokok permohonan para pemohon dinilai tidak beralasan menurut hukum.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam sidang putusan permohonan uji materi nomor 80/PUU-XVI/2018 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (21/5/2019).
Permohonan uji materi Undang-Undang 29/2004 tentang Praktik Kedokteran diajukan 36 akademisi kedokteran, tujuh orang di antaranya adalah guru besar. Adapun hal pokok yang dimohonkan, yaitu pengaturan struktur organisasi profesi kedokteran dan sertifikat kompetensi.
Pemohon menghendaki agar struktur kepemimpinan ikatan dokter Indonesia yang terdiri atas Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK) dijadikan norma hukum yang dituangkan dalam amar putusan.
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat, struktur organisasi kepemimpinan ikatan dokter Indonesia adalah urusan internal IDI sehingga dapat diselesaikan sendiri dan tidak bersangkutan dengan konstitusi suatu negara sehingga bertentangan dengan UUD 1945. “Dengan demikian menurut Mahkamah, dalil para pemohon tidaklah beralasan menurut hukum,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Pengawasan
Kemudian, terkait ketidakpastian hukum dalam penerbitan sertifikat kompetensi oleh kolegium seperti yang tertulis dalam Pasal 1 UU 29/2004, Hakim Konstitusi menyatakan hal itu juga tidak beralasan menurut hukum. Pasalnya, menurut hakim, sertifikat kompetensi untuk dokter, baik dokter umum maupun spesialis adalah organisasi profesi. Sertifikat tersebut diberikan setelah seorang dokter teruji dalam uji kompetensi dokter atau dokter gigi.
Salah seorang pemohon, Judilherry Justam, yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengatakan, pihaknya tetap menghormati putusan Hakim Konstitusi. Namun, jika tidak ada ketegasan terkait struktur kepemimpinan profesi kedokteran yang secara jelas tertulis dalam norma hukum bisa timbul sikap sewenang-wenang dari satu pihak.
“Kita sebenarnya hanya ingin ada penegasan saja jika ada PB IDI, MKEK, MKKI, dan MPPK. Masing-masing setara. Jadi supaya jelas dan tidak ada kesewenang-wenangan dari PB IDI. Selain itu juga organisasi profesi saat ini harus ada yang mengawasi,” ujarnya.