Ponpes Wali Barokah Mandiri Energi
Sejak 28 Oktober 2018, Pesantren Wali Barokah di Kota Kediri, Jawa Timur, mewujudkan energi mandiri. Sinar surya dijaring dalam ratusan panel dan diubah menjadi energi listrik. Listrik tenaga surya yang dihasilkan diklaim sebagai yang terbesar untuk bangunan nonpemerintah.
Ribuan santri dan alumni menempati lantai 1 hingga lantai 3 gedung Pesantren Wali Barokah di Jalan HOS Cokroaminoto, Kelurahan Burengan, Kota Kediri, Jumat (17/5/2019) siang. Mereka mengikuti Asrama Khataman Tafsir Al Quran yang rutin digelar tiap Ramadhan.
Peserta melaksanakan sejumlah kegiatan, mulai dari bacaan Al Quran, tafsir Al Quran, dan ibadah lainnya. Asrama Khataman Tafsir Al Quran tahun ini diikuti 4.000 santri reguler dan 1.500 alumni dari sejumlah daerah di Tanah Air berlangsung sejak awal puasa sampai 25 Ramadhan.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini ada yang baru pada Asrama Khataman Tafsir Al Quran di pesantren yang berada di bawah naungan Lembaga Dakwah Islam Indonesia itu. Ini adalah kali pertama—sejak asrama khataman dilaksanakan 68 tahun lalu—para santri bisa merasakan sumber energi baru yang berasal dari hasil jerih payah sendiri.
Mereka menjaring panas matahari dari lantai empat gedung, menyalurkannya dalam inverter dan baterai untuk kemudian digunakan ke unit- unit yang ada di pesantren. Penggunaannya mulai dari penerangan, pendingin ruangan, audio, dan masih banyak perangkat elektronik lainnya.
Sejak Juni 2018, lantai teratas gedung Wali Barokah yang semula terbuka dan menjadi tempat menjemur pakaian para santri disulap menjadi sebuah ruangan seluas sekitar 1.640 meter persegi yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Atapnya terbuat dari kepingan panel surya yang ditopang rangka besi kokoh layaknya atap sebuah industri.
Atap dibuat miring 15 derajat ke sisi selatan menyesuaikan lintasan matahari. Total ada 640 panel dengan daya masing-masing panel sebesar 325 Watt Peak (WP). Total energi yang dihasilkan mencapai 1.066.000 WP atau 220 Kilowatt (KW) per hari dengan durasi penyinaran matahari selama 5 jam 40 menit.
”Pembangkit listrik tenaga surya ini dirintis awal 2017 dan diluncurkan 28 Oktober 2018 setelah dirasa sudah cukup bisa dioperasionalkan. Kalau mengandalkan listrik PLN, sebenarnya cukup. Namun, ke depan kami ingin mengurangi ketergantungan itu secara bertahap,” ujar pimpinan Pondok Pesantren Wali Barokah, KH Sunarto.
Ungkapan syukur
Selain alasan berhemat, penggunaan listrik tenaga surya itu sekaligus wujud syukur atas nikmat Allah SWT. Nikmat yang dimaksud adalah sinar matahari yang diberikan secara cuma-cuma. Apalagi Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement 2015 untuk mengurangi bahan bakar fosil hingga 23 persen pada 2023.
Apa yang dilakukan Wali Barokah selaras dengan langkah itu. Bagaimanapun bahan bakar fosil ke depan akan semakin berkurang dan energi alternatif menjadi pilihan yang harus dikembangkan.
Sebelumnya, ponpes memanfaatkan dua sumber energi, yaitu listrik PLN dan generator. Keduanya berfungsi simultan selama puluhan tahun. Namun begitu pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) siap, ponpes memiliki tiga sumber energi meski yang lebih banyak digunakan hanya listrik PLN dan tenaga surya.
”Energi dari tenaga surya menyuplai 60 persen kebutuhan. Sisanya masih dari PLN karena tidak mungkin kita tidak menggunakan listrik negara karena adanya kebijakan kehadiran negara dalam mewujudkan energi listrik bagi masyarakat,” kata Sunarto. Ketua Engineer PLTS Wali Barokah, Horisworo, mengatakan, dibutuhkan waktu dua bulan untuk memasang panel-panel surya itu.
Selama menunggu panel surya Canadian Solar impor datang, pihaknya secara paralel melakukan pengerjaan konstruksi yang dimulai Januari 2018. ”Setelah terpasang, butuh waktu satu minggu untuk uji coba,” ujarnya.
Menurut Horisworo, peranti ini bisa berfungsi meski cuaca mendung. Berdasarkan data satelit NASA, hanya ada dua hari dalam satu tahun di mana mendung benar-benar menghalangi sinar matahari ke bumi. Kondisi itu bisa diatasi oleh baterai hibrid yang tersedia. PLTS Wali Barokah menggunakan baterai ganda, yakni hibrid dan on grade yang terintegrasi.
Selain ukurannya yang luas, panel surya di Wali Barokah berbeda dengan peranti sejenis di tempat lain. Di Wali Barokah, panel surya berfungsi sebagai atap gedung berlantai empat. Sementara di tempat lain, panel surya biasanya dipasang dengan tinggi 1 meter dari tanah.
”Untuk pembangunannya tak ada masalah. Semua dipasang oleh alumni pondok. Tidak ada kesulitan,” kata Horisworo. Pembangunan PLTS di ponpes ini menghabiskan dana Rp 10 miliar yang terdiri dari Rp 3 miliar untuk pembangunan konstruksi rangka dan Rp 7 miliar untuk komponen panel surya.
Dana dipenuhi secara swadaya dari santri dan alumni. Horisworo mengatakan, dari sisi ekonomi, PLTS ini mampu menghemat biaya Rp 50 juta- Rp 60 juta per bulan. Sebelum ada PLTS, Ponpes Wali Barokah biasa membayar listrik Rp 125 juta-Rp 150 juta per bulan. Padahal, sejauh ini baru 60 persen daya PLTS yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pondok. Sebanyak 40 persen sisanya masuk ke sistem PLN.
”Dalam setahun ada Rp 700 juta yang bisa dihemat. Jika melihat biaya yang dikeluarkan, butuh waktu sekitar lima tahun untuk bisa kembali impas,” kata Horisworo. Ketua Tim Bangunan PLTS Wali Barokah Roni Kadafi mengatakan, pembangunan PLTS tidak berhenti sampai di sini. Nantinya perangkat ini akan dikembangkan ke sisi utara yang saat ini masih berupa atap biasa dengan ukuran 45 meter x 41 meter.