JAKARTA, KOMPAS – Potensi wakaf asuransi belum terlihat sejak izin dikeluarkan pada 2016. Otoritas Jasa Keuangan atau OJK melihat itu sebagai hal biasa karena wakaf asuransi masih dalam proses pengembangan. Proses itu membutuhkan waktu karena kompleksitas produk.
Pada 2016, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa 106/DSN-MUI/X/2016 tentang Wakaf Manfaat Asuransi dan Manfaat Investasi pada Asuransi Jiwa Syariah. Wakaf yang semula sedekah dalam bentuk fisik, seperti rumah dan masjid, bisa berbentuk uang.
Hal itu pun membuka ruang bisnis bagi perusahaan asuransi syariah yang mulai menjajaki wakaf asuransi. Namun, hingga pertengahan 2019, perkembangan wakaf asuransi masih sangat lambat.
Direktur Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Syariah OJK Mochamad Mukhlasin menjelaskan, masih terlalu dini untuk menilai perkembangan wakaf asuransi. Sebab produk ini baru diizinkan dalam kurun waktu kurang dari empat tahun atau tertinggal dibandingkan produk asuransi lain.
"Karena fatwa baru keluar 2016. Pengalaman kami butuh beberapa tahun untuk mengembangkannya. Karena perusahaan pasti sedang membuat produk. Dan sebelum membuat mereka tentunya harus memahami dulu produk itu," ucap Mukhlasin.
Pemahaman dan penjualan produk cukup rumit karena wakaf asuransi berbeda dengan produk polis biasa. Adapun dana yang diperuntukkan untuk wakaf adalah manfaat asuransi. Contohnya, peruntukkan 35 persen dana untuk wakaf jika nasabah meninggal.
Belum lagi, perusahaan asuransi syariah juga harus mencari rekan penyalur dana wakaf. Adapun penyalur tersebut yang akan mengubah uang tersebut menjadi sedekah yang bersifat jangka panjang seperti pembangunan sekolah dan masjid ataupun dana pendidikan.
"Wakaf adalah salah satu tantangan bagi industri syariah. Karena produk ini merupakan terobosan bukan copy paste dari produk konvensional. Jadi perlu waktu untuk menciptakan produk yang tepat," tambah Mukhlasin.
Berdasarkan data Badan Wakaf Indonesia (BWI), potensi wakaf di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 180 triliun. Namun, realisasinya pada 2018 masih jauh dari potensi atau hanya sekitar Rp 600 miliar.
Meski cenderung lamban, wakaf asuransi mulai menggeliat di awal semester 2019. Dalam rentang tiga bulan, terdapat dua perusahaan asuransi besar yang menyediakan fitur wakaf, yakni Prudential Indonesia dan AXA Mandiri Syariah.
AXA Mandiri Syariah menjadi yang teranyar mengeluarkan produk wakaf asuransi, pada Senin (13/5/2019). Presiden Direktur AXA Mandiri, Handojo G. Kusuma mengatakan, produk dan layanan wakaf, akan menjadi salah satu isu strategis.
"Fitur baru ini menjadi pilihan yang menarik untuk masyarakat. Tidak hanya memberikan manfaat proteksi dan perencanaan keuangan sesuai prinsip syariah, namun melalui fitur wakaf, nasabah juga diberi kemudahan beramal yang akan bermanfaat bagi sesama," tutur Handojo menjelaskan potensi wakaf.
Handojo menambahkan, potensi itu kian besar karena sedekah melalui wakaf ataupun lainnya merupakan budaya dari Indonesia. Menurut Charities Aid Foundation, Indonesia merupakan negara yang paling dermawan di dunia.
Sementara itu, Prudential Indonesia sudah mengeluarkan fitur wakaf asuransi sejak Februari 2019. Setelah tiga bulan peluncuran, salah satu perusahaan asuransi konvensional terbesar itu masih fokus mengenalkan produk ke masyarakat.
”Sejak kami mengeluarkannya, antusiasme masyarakat sangat positif. Saat ini, kami masih terus menyosialisasikan kepada calon nasabah untuk memperluas pasar,” kata Bondan Margono, Kepala Operasi Syariah Prudential Indonesia.
Direktur Pemasaran dan Bisnis Asuransi Syariah BRI Life Anik Hidayati menuturkan, pihaknya juga melihat prospek besar dari produk wakaf asuransi. Oleh karena itu, dalam waktu dekat BRI Life akan mengeluarkan produk serupa. Wacana itu disebutkan setelah peluncuran produk asuransi baru Davestera Optima Syariah, pekan lalu.