JAKARTA, KOMPAS — Penyerapan gas domestik, untuk pertama kalinya, mencapai 64 persen. Sementara porsi ekspor 36 persen. Porsi serapan domestik yang lebih besar ketimbang ekspor terjadi sejak 2013 dan terus naik karena dipicu tingginya produksi menyambut Idul Fitri 2019.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, porsi 64 persen itu antara lain diserap oleh industri sekitar 25 persen, pupuk 12,2 persen, kelistrikan 11 persen, LNG (liquid natural gas) domestik 10,6 persen, lifting minyak 3,2 persen, elpiji domestik 1,7 persen, bahan bakar gas 0,14 persen, dan pipa gas kota 0,07 persen. Sepuluh tahun lalu, yaitu pada 2009, porsi ekspor masih mencapai 53 persen. Pada 2003, serapan gas domestik bahkan hanya 25 persen.
Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri Indonesia Achmad Widjaja mengatakan, tingginya serapan gas di dalam negeri lantaran aktivitas industri meningkat menjelang Idul Fitri. Sektor industri yang aktif mengonsumsi energi saat ini adalah industri olahan. Begitu pula konsumsi gas untuk pembangkit listrik bertambah seiring meningkatnya aktivitas industri.
”Di samping itu, ada sedikit dampak dari perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Momentumnya bersamaan dengan masa memasuki Idul Fitri sehingga aktivitas industri terdongkrak,” kata Achmad, Senin (20/5/2019), di Jakarta.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerjasama pada Kementerian ESDM Agung Pribadi menambahkan, pemerintah terus mendorong optimalisasi pemanfaatan gas di dalam negeri. Selain dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga berkepentingan mewujudkan kemandirian energi. Pemerintah juga tak terpancing memperbesar porsi ekspor gas demi mengumpulkan devisa.
”Bukan seperti itu (memperbesar ekspor) kebijakan gas nasional kita. Akan tetapi, memanfaatkan gas sebagai modal pembangunan dan merangsang pertumbuhan ekonomi nasional lebih prioritas,” ujar Agung.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, produksi gas bulanan di dalam negeri sampai April 2019 sebesar 7.351 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Produksi tersebut melampaui patokan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019 yang sebesar 7.000 MMSCFD. Diperkirakan sampai akhir tahun ini produksi gas Indonesia mencapai 7.236 MMSCFD.
Soal harga gas, Achmad mengatakan, sampai kini, sektor industri pengguna gas masih menunggu janji pemerintah menurunkan harga gas. Harga gas untuk industri di Surabaya, Jawa Timur, berkisar 8,9 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Menurut dia, tingginya harga gas tersebut disebabkan gas bumi tidak langsung dijual dari produsen kepada sektor industri sebagai pengguna akhir.
”Kalangan industri selalu menunggu kebijakan harga gas yang lebih efisien. Dengan demikian, ongkos produksi bisa ditekan dan keekonomian bisnis secara menyeluruh bisa terpenuhi,” ucap Achmad.
Sampai kini, sektor industri pengguna gas masih menunggu janji pemerintah menurunkan harga gas.
Kebijakan harga gas diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Mengacu pada aturan itu, jika harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas bumi lebih tinggi dari 6 dollar AS per MMBTU, menteri dapat menetapkan harga gas bumi tertentu. Penetapan harga gas bumi tertentu hanya dikhususkan untuk pengguna gas bumi bidang industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.