Tambang pasir liar di Batang Sinamar, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat yang sudah terjadi belasan tahun merusak daerah aliran sungai tersebut. Laju erosi, debit air, dan pendangkalan air sungai meningkat. Warga meminta ketegasan pemerintah menindak praktek ilegal itu.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
LIMAPULUHKOTA, KOMPAS - Tambang pasir liar di Batang Sinamar, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat yang terjadi belasan tahun merusak ekosistem sekitar daerah aliran sungai tersebut. Laju erosi, debit air, dan pendangkalan air sungai meningkat. Warga minta pemerintah menindak tegas praktek ilegal itu.
Dampak kerusakan Sungai Batang Sinamar setidaknya dirasakan masyarakat di dua kecamatan yang dilalui sungai tersebut, yaitu Payakumbuh dan Harau. Sawah maupun ladang di pinggiran sungai banyak yang roboh. Sebagian besar kincir air sumber irigasi ratusan hektar sawah rusak dan terbengkalai akibat erosi serta debit air yang kian deras.
“Dua sawah saya sebagian sudah runtuh ke sungai karena terkikis air. Itu akibat aktivitas tambang pasir,” kata Musrizal (62), petani di Nagari Taeh Baruah, Payakumbuh, Senin (20/5/2019).
Aliran Sungai Batang Sinamar yang dulu relatif tenang, sekarang jauh lebih deras. Adapun tebing sungai kian curam dan airnya semakin dangkal.
Menurut Musrizal, perubahan pada Batang Sinamar semakin terasa dalam lima tahun terakhir. Aliran Sungai Batang Sinamar yang dulu relatif tenang, sekarang jauh lebih deras. Adapun tebing sungai kian curam dan airnya semakin dangkal. Aktivitas tambang ilegal itu sudah dimulai sejak awal 2000-an.
Aktivitas tambang paling marak berada di Kecamatan Harau. Menurut Camat Harau Andri Yasmen, Senin (20/5), setidaknya ada tiga nagari (desa) yang menjadi lokasi tambang pasir liar oleh masyarakat sekitar, yaitu Lubuak Batingkok, Koto Tuo, dan Batu Bolang. Namun, Andri mengaku tidak tahu jumlah pemilik atau jumlah titik yang menjadi pelabuhan para penambang.
Berdasarkan penelusuran Kompas di Lubuak Batingkok, Minggu (19/5), setidaknya terdapat lima pelabuhan lokasi pengumpulan dan bongkar muat pasir. Empat dari lima pelabuhan itu hanya berjarak 70 meter hingga 300 meter dari Jembatan Lubuak Batingkok. Mobil bak terbuka dan truk datang silih berganti memuat pasir.
Para penambang mengeruk pasir di dasar sungai menggunakan ember logam. Pasir ditampung dan diangkut dengan sampan berkapasitas lebih kurang 1 meter kubik. Mereka mengeruk pasir mulai dari Lubuak Batingkok hingga Koto Tangah Simalanggang dengan rentang sekitar 3 kilometer. Satu sampan pasir dijual Rp 100.000 atau Rp 170.000 jika diantar ke alamat.
“Di sini (pelabuhan tempat ia bekerja), ada tiga sampan. Kalau permintaan sedang banyak, penambang lebih dari sepuluh orang. Dalam sehari, satu penambang bisa mengambil pasir hingga tiga sampan,” kata Hen, salah seorang petambang.
Beberapa tahun lalu kami juga pernah berunjuk rasa di pelabuhan Jembatan Lubuak Batingkok. Beberapa hari sempat berhenti, tapi kemudian jalan lagi, malah bertambah banyak
Meresahkan
Tambang pasir ilegal itu sejak awal sudah meresahkan. Masyarakat yang umumnya petani berulang kali melarang para penambang, tetapi tidak diindahkan. Upaya mengadukan masalah itu kepada pemerintah, termasuk Dinas Pertambangan Limapuluh Kota, juga tidak membuahkan hasil.
“Beberapa tahun lalu kami juga pernah berunjuk rasa di pelabuhan Jembatan Lubuak Batingkok. Beberapa hari sempat berhenti, tapi kemudian jalan lagi, malah bertambah banyak,” kata Usman Kalik (67), petani di Nagari Koto Tangah Simalanggang, Payakumbuh.
Kalik mengaku, karena pemerintah terkesan membiarkan, ia akhirnya bertindak sendiri. Kalik, dengan membawa golok, pernah mengejar penambang yang mengeruk pasir di dekat kincir airnya. Sampan yang ditinggalkan petambang kemudian dirusak dan ditenggelamkan.
Andri mengatakan, masyarakat Batu Bolang juga mengeluhkan masalah tambang pasir di nagari itu karena merusak sawah dan ladang. Andri mengaku, bersama wali nagari (kepala desa) sudah berkoordinasi untuk mengingatkan penambang agar aktivitas itu dihentikan, tetapi tidak berhasil. “Kami hanya bisa mengingatkan, tetapi untuk penindakan ada di Satpol PP,” kata Andri.
Masyarakat Batu Bolang juga mengeluhkan masalah tambang pasir di nagari itu karena merusak sawah dan ladang.
Sementara itu, Nasrul (65), petani di Nagari Koto Tuo, mengatakan, jika hanya mengandalkan masyarakat, penghentian tambang pasir ilegal akan sulit. Sebab, para penambang berdalih beraktivitas di lahan milik sendiri. Meski demikian, dampaknya dirasakan kawasan lain, terutama di hilir sungai. Pemerintah semestinya turun tangan menindak karena penambang pasir itu jelas-jelas tidak berizin.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (DPM-PTSP) Ambardi memastikan aktivitas tambang pasir tersebut tidak memiliki izin. DPM-PTSP, kata Ambardi, tidak pernah mengeluarkan izin tambang galian C karena tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. “Untuk penindakannya, itu wewenang penegak hukum (polisi) dan satpol PP,” kata Ambardi.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Limapuluh Kota, Widya Putra mengatakan, persoalan tambang pasir di Batang Sinamar sudah sering dibahas dalam rapat koordinasi dengan Organisasi Perangkat Daerah. Namun, upaya menghentikan aktivitas ilegal itu melalui kecamatan tidak berhasil. “Nanti kami akan kirimkan lagi surat edaran kepada camat untuk penindakan,” kata Widya.
Ekosistem rusak
Pengamat lingkungan hidup Universitas Negeri Padang Indang Dewata mengatakan, salah satu indikator kerusakan sungai diukur dari laju erosi, laju pendangkalan, dan tingkat pelebaran sungai. Jika hal tersebut semakin tinggi, menandakan terjadi kerusakan.
"Itu dari kategori akibat. Dari kategori penyebab, kerusakan diukur dari laju aliran air. Jika debit air musim hujan dan kemarau terlalu tinggi, juga pertanda kerusakan sungai," kata Indang.
Susy Herlinda, kepala Bidang Penataan dan Penaatan Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup Perumahan Rakyat dan Pemukiman Kabupaten Limapuluh Kota, mengatakan, pihaknya belum melakukan kajian terhadap kondisi Sungai Batang Sinamar. Namun, aktivitas tambang liar yang tidak terkontrol diakui dapat merusak sungai.
Penggalian yang terlalu dalam dapat menyebabkan erosi dan kerusakan sempadan sungai. Selain itu, ekosistem sungai juga bisa terdampak. Biota sungai, seperti ikan, ada yang bertelur di dasar sungai. Jika dasar sungai terus tergerus, populasi ikan jelas terganggu.
“Kami mengimbau masyarakat tidak melakukan aktivitas yang tidak sesuai aturan di kawasan sungai. Sungai harus dijaga besama sebagai sumber kehidupan. Kelestariannya harus dijaga karena akan diwariskan ke anak cucu kita,” kata Susy.