JAKARTA, KOMPAS - Warga di Jalan Gotong Royong, Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, mengeluhkan air perpipaan yang kotor dan bau, hampir setahun terakhir. Sementara, tagihan air terus naik.
Anne Apriyani (31), warga Jalan Gotong Royong RT 013 RW 016 Blok E3, mengatakan, hampir setahun, warna air di rumahnya butek.
Saat disaring memakai kain tipis di keran kamar mandi, terlihat air tercampur pasir halus dan lumut. Kotoran itu tak hanya ada di saringan, tetapi juga menempel di sepanjang selang keran berukuran hampir 50 sentimeter.
"Jadi, tak cuma kotor, tetapi baunya juga busuk kayak air got dan lengket. Di gayung itu kelihatan lengket," tutur Anne.
Air kotor itu membuat badan gatal dan bentol-bentol merah di badan anaknya. Pasir juga masih menempel di badan setelah mandi. Anne juga pernah menemukan cacing merah kecil dan halus di kepala suaminya setelah mandi. Itu terjadi sekitar dua bulan lalu.
Anne harus membeli air galon untuk memasak. Sedangkan, untuk mandi, dia menggunakan air perpipaan yang sudah tersaring.
"Semenjak air (kotor dan bau) begini, air bersih untuk sebulan bisa habis lima galon, kadang untuk mandi anak dan campur masak," katanya.
Satu galon air dibeli seharga Rp 18.000. Adapun, untuk cuci pakaian, dia pakai air galon keliling yang harganya lebih murah, yakni Rp 5.000 per galon.
Katino (40), warga RT 013 RW 016 Blok E8, merasakan air yang kotor dan berbau hampir setahun ini. Air kian parah dengan adanya cacing dan lumut sekitar 2-3 bulan terakhir.
Katino meminta PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) selaku operator air perpipaan di wilayah ini, untuk menyelesaikan persoalan air. Namun, hasilnya nihil.
"Komplain sejak lama, tapi hasilnya masih gitu-gitu saja. Sudah sampai capek saya. Capek juga ngomong tetapi tak direspon," ujarnya.
Mutiara (33), warga di Blok E 28, mengaku makin dirugikan karena tarif air terus naik. Sekitar tiga bulan lalu, tagihan air hanya sekitar Rp 70.000. Dua bulan lalu dan bulan ini, tagihan menjadi sekitar Rp 80.000.
"Naiknya sekitar Rp 5.000 per bulan, juga lumayan soalnya kualitas air tak sebanding dengan apa yang kami bayar," kata Mutiara yang masih harus membeli air galon untuk memasak.
Terpisah, pihak Palyja tidak memberi respons. Kompas berupaya mengkonfirmasi persoalan itu dengan mengirim pesan melalui Whatsapp kepada Corporate Communications & Social Responsibilities Division Head Palyja, Lydia Astriningworo. Namun, pesan hanya dibaca saja tanpa ada balasan.
Sementara dengan temuan itu, Direktur Amrta Institute Nila Ardhiani yang dihubungi terpisah menegaskan, PBB melalui Resolusi Nomor 64/292 sudah menyatakan hak atas air sebagai hak asasi manusia. Konsekuensinya, pemerintah dan pelaku bisnis berkewajiban mutlak mengupayakan upaya terbaik untuk memberikan akses air bersih kepada warga.
Dengan dinyatakannya hak atas air sebagai HAM, lanjut Nila, maka pemerintah harus memastikan ketersediaan air bersih bagi setiap individu harus tercukupi. Tentunya dengan kualitas baik sesuai syarat Kemenkes yaitu tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, tidak mengandung mikroorganisme, juga tidak mengandung logam berat. Sumber air bersih juga harus mudah dijangkau atau diakses, dan dengan harga yang terjangkau.
Untuk itu semua perusahaan harus respect terhadap human right atau hak asasi manusia ini. Air adalah human right.
"Sebagai perusahaan yang diberi kepercayaan untuk memberikan layanan air seharusnya perusahaan respect human right diantaranya soal kualitas air.
Dengan menyediakan air dengan kualitas buruk maka sebenarnya sudah terjadi pelanggaran HAM dalam layanan air di Jakarta," Nila menegaskan.