JAKARTA, KOMPAS - Aparat keamanan mendalami dugaan penyelundupan senjata oleh mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Mayor Jenderal (Purn) Soenarko. Sebelumnya, Soenarko ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka karena dugaan makar.
Soenarko ditangkap polisi dan anggota Polisi Militer Kodam Jaya pada Selasa (21/5/2019). Dia kemudian ditahan di Rumah Tahanan Militer, Guntur, Jakarta, untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Laporan terhadap Soenarko diterima Bareskrim Polri pada Senin (20/5/2019). Hal ini terkait seruan melalui video untuk mengepung KPU dan Istana pada 22 Mei 2019 yang diduga dilakukan Soenarko. Video itu tersebar di media sosial.
Soenarko dijerat Pasal 110 juncto Pasal 108 Ayat 1 tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 163 bis juncto Pasal 146.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, di Jakarta, Selasa, menyatakan, dari Soenarko, petugas juga mengamankan satu pucuk senjata api yang diduga ilegal. Aparat masih mendalami dugaan penyelundupan senjata itu, termasuk menggali motifnya.
”Menguasai senjata api ilegal itu memang tidak diizinkan dan jelas melanggar hukum. Soal mau digunakan untuk apa, itu nanti diketahui saat pendalaman. Sekarang masih dalam proses penyidikan,” kata Wiranto. Wiranto juga menegaskan, penangkapan Soenarko demi menjaga keamanan nasional.
Kepolisian Daerah Metro Jaya menarik surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kasus dugaan makar dan menyiarkan berita bohong dari pelapor Suriyanto, dengan tersangka Eggi Sudjana, dan terlapor Prabowo Subianto.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono, Selasa, mengatakan, setelah dianalisis penyidik, SPDP itu belum saatnya dibuat atau dikirim. Sebab, SPDP itu berdasarkan keterangan dari tersangka Eggi Sudjana dan Lieus Sungkharisma.
”Dengan adanya keterangan tersangka, itu perlu dibuktikan. Artinya, itu hanya kata tersangka. Tersangka menyebut nama. Kami perlu selidiki lebih dulu keterangan tersangka. Maka, SPDP itu kami tarik hari ini,” kata Argo.
Jaga persatuan
Dalam keterangan tertulis, Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Mayor Jenderal I Nyoman Cantiasa menyerukan jajarannya untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Seruan itu berkaitan dengan makin menghangatnya dinamika di tengah masyarakat karena Pemilu 2019.
Kopassus, menurut Cantiasa, merupakan satuan yang dihormati dan dibanggakan karena profesionalisme yang tinggi. Cantiasa juga menyebut Kopassus memiliki sejarah prestasi panjang dalam menjaga tegak dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, dia tidak ingin Kopassus dijadikan alat memecah belah persatuan dan kesatuan.
”Tidak boleh ada satu pun prajurit Kopassus yang bertindak karena inisiatif pribadi, kelompok, ataupun pihak-pihak lain di luar garis komando. Tidak boleh ada prajurit Kopassus yang mengeluarkan komentar, apalagi bernada provokatif dalam media sosial ataupun secara lisan,” tutur Cantiasa.