Para elite politik dan tokoh nasional diharapkan duduk bersama melakukan rekonsiliasi politik. Atas nama kecintaan pada bangsa dan rakyat Indonesia serta keutuhan NKRI, para tokoh ini harus melepas ego dan meneduhkan situasi.
Oleh
RENY SRI AYU
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Para elite politik dan tokoh nasional diharapkan duduk bersama melakukan rekonsiliasi politik. Atas nama kecintaan pada bangsa dan rakyat Indonesia serta keutuhan NKRI, para tokoh ini harus melepas ego dan meneduhkan situasi. Jika kondisi yang terjadi saat ini tidak segera diredam, berbagai pihak, termasuk pihak luar, akan dengan mudah menyusup dan memanfaatkan situasi.
Rektor Universitas Hasanuddin Dwia Aries Tina Pulubuhu mengatakan hal ini di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (22/5/2019), menyikapi situasi politik saat ini. ”Sangat disayangkan sebenarnya karena demokrasi ini semestinya melahirkan perpaduan dan persatuan, bukan perpecahan. Saat ini, konflik yang terjadi sudah bukan lagi soal menang kalah, tetapi konflik kepentingan dari kelompok tertentu yang memiliki beragam kepentingan dan tujuan,” katanya.
Dwia mengatakan, ada kelompok sakit hati, ada kelompok yang ingin mendirikan khilafah, ada kelompok organisasi massa yang selama ini merasa tidak mendapat tempat. Mereka kini yang memainkan situasi dan memanfaatkan konflik di tengah masyarakat. ”Jadi, konflik ini sebenarnya kepentingan siapa? Mestinya semua menyadari ini,” katanya.
Jadi, konflik ini sebenarnya kepentingan siapa? Mestinya semua menyadari ini.
Di tengah situasi panas seperti ini, lanjutnya, kehadiran elite politik dan tokoh nasional sangat diperlukan untuk meneduhkan. Para tokoh dan elite menjadi kunci meredam konflik yang terjadi saat ini.
Dwia menyarankan para pemimpin, seperti Joko Widodo, Ma’ruf Amin, Prabowo Subianto, dan Sandiaga Salahuddin Uno, duduk bersama dan melakukan rekonsiliasi politik. Pihak yang menang sebaiknya menegaskan, tak ada dendam politik dan bisa mengakomodasi visi-misi yang selama ini diperjuangkan pihak yang kalah sepanjang tak bertentangan dengan konstitusi.
”Saya juga yakin, walau Prabowo kalah, dia tak akan kalah dari jiwa patriotik yang tetap menginginkan Indonesia utuh sebagai NKRI,” ucapnya.
Kekuatan massa yang ada saat ini sebaiknya dijadikan kekuatan bersama untuk melawan kelompok-kelompok yang memanfaatkan situasi dan ingin membuat Indonesia kacau. Masyarakat harus disadarkan bahwa mereka dimanfaatkan.
”Kita sudah melihat banyak peristiwa di luar negeri, konflik seperti ini berujung perang saudara. Kita tak ingin ini terjadi di Indonesia. Lagi pula, akar konflik ini adalah soal menang kalah dalam pemilu. Banyak masyarakat yang sekadar ikut-ikutan dan tidak sadar sedang diseret dalam konflik kepentingan. Jika sebelum pemilu orang berkonflik untuk menang, sekarang kepentingannya sudah lain,” tuturnya.
Karena itu, Dwia berharap semua pihak, termasuk kalangan kampus, mengambil bagian dalam meredam benih perpecahan.
”Kami merasa banyak masyarakat yang tidak tahu apa-apa dan mereka membutuhkan kepastian terkait situasi. Kampus harus terdepan memberi imbauan kepada masyarakat untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Perbedaan boleh, tetapi NKRI jangan diporakporandakan,” katanya.
Di Makassar, situasi sepanjang Rabu cukup kondusif. Tak ada unjuk rasa atau kerumunan. Kantor KPU dan Bawaslu juga sepi dari unjuk rasa. Pengamanan dilakukan di berbagai tempat, termasuk pusat bisnis. Di kampus-kampus, tak satu pun ada unjuk rasa.
”Situasi keamanan cukup kondusif. Petugas keamanan tetap disiagakan untuk memberi rasa aman bagi warga. Kami harap tetap seperti ini dan warga beraktivitas seperti biasa,” kata Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Komisaris Besar Dicky Sondani.