Farida Mahri, Asa bagi Anak Desa yang Putus Sekolah
Farida Mahri (46) memilih meninggalkan pekerjaannya di organisasi internasional nonpemerintah demi membangun kampung di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sempat ditolak warga, ia kini membangkitkan asa anak putus sekolah.
Farida Mahri (46) memilih meninggalkan pekerjaannya di organisasi internasional nonpemerintah demi membangun kampung di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sempat ditolak warga, ia kini membangkitkan asa anak putus sekolah.
Pertengahan Mei 2019 ini, ibu dua anak itu tengah sibuk menggelar Pesantren Ramadhan. Lokasinya di Kampung Karangdawa, Desa Setupatok, Kecamatan Mundu. Pesertanya belasan siswa Sekolah Alam Wangsakerta yang kebanyakan sudah putus sekolah.
Materi kebersihan, ibadah, fiqih sosial dan lingkungan, disampaikan dalam acara itu. Dosen Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon Abdul Muiz Ghazali dan Wakhit Hasim (suami Farida) menjadi pengajarnya. Tidak hanya mendengarkan, para siswa juga praktik langsung, seperti cara berwudhu.
Mereka membuat tempat wudhu portabel tepat di samping saung Wangsakerta. Saung tanpa pintu seluas 8 meter x 6,5 meter itu sekaligus kelas bagi siswa.
Di luar Ramadhan, mereka sekolah tanpa biaya, seragam, sepatu, juga uang jajan. Waktunya pun lebih fleksibel, siang hingga sore. Pagi hari, anak-anak itu sibuk mengurus adik dan mengangkut air bersih.
Senin, jadwalnya membaca materi apa saja yang sesuai dengan kebutuhan warga, seperti cara bertani. Selasa, mereka menulis cerita pendek. Rabu, saatnya bercocok tanam, sementara Kamis diisi kreasi seni. Pada Jumat, mereka memilah sampah organik dan plastik.
Biasanya, mereka keliling mengangkut bawang putih dan cabai yang membusuk. Karangdawa merupakan sentra gudang rempah. Mayoritas warga bekerja sebagai buruh pengupas bawang putih dan cabai. Namun, selama ini, sampahnya hanya terbuang di pinggir jalan.
Sampah itu lalu dijadikan pupuk organik bagi komoditas yang mereka tanam di lahan kosong sekitar saung. Terdapat pula kebun pembibitan aneka tanaman, seperti tomat, cabai, kucai, pare, daun bawang, dan terong.
Bahan pangan itu juga ditanam oleh siswa di pekarangan rumah mereka. Bahkan, beberapa sudah dapat dipanen untuk disajikan di meja makan. Ada pula yang dijual meskipun dalam jumlah sedikit.
Ditolak warga
Dua tahun lalu, anak-anak tersebut hanya nongkrong dan bekerja membantu keluarga, bukan sekolah. Sebagian besar orangtua mereka yang berprofesi sebagai tukang becak dan buruh pengupas rempah memandang sekolah tidak menghasilkan uang.
Sebaliknya, sekolah membutuhkan duit. Jika tidak punya motor, siswa harus berjalan kaki hingga satu jam setiap hari karena belum ada angkutan umum di kampung yang hanya berjarak 8 kilometer dari pusat pemerintahan Kota Cirebon tersebut.
Harapan perlahan datang ketika Farida bersama Wakhit dan Muhammad Reza (34) mendirikan Sekolah Alam Wangsakerta, September 2017. ”Kami sering diskusi tentang kampung, pendidikan, dan pertanian. Tetapi, apa yang berubah? Akhirnya, kami harus terjun langsung,” ucap Ida, sapaan Farida.
Orangtua Reza, yang memiliki tanah sekitar 7.000 meter persegi di Karangdawa, mengizinkan ketiganya memanfaatkan lahan itu. Apalagi, tanah itu sulit ditanami komoditas, seperti padi karena minimnya saluran irigasi. Padahal, daerah itu dekat dengan Danau Setupatok yang mengairi hampir 2.000 hektar sawah. Lahan pun menjelma perumahan.
Ternyata, banyak anak yang enggak sekolah. Kami datangi setiap rumah menawarkan sekolah dan fokus pada pertanian. Bertani itu aset desa.
Ida tidak menyia-nyiakan peluang itu. Merogoh tabungan jutaan rupiah, ia menyewa rumah dan membangun saung di kampung tersebut agar lebih dekat dengan warga. ”Ternyata, banyak anak yang enggak sekolah. Kami datangi setiap rumah menawarkan sekolah dan fokus pada pertanian. Bertani itu aset desa,” ucapnya.
Namun, mengajak anak putus sekolah kembali belajar tidaklah mudah. Perangkat desa sempat mencurigainya. Ada pula warga yang menghindar. ”Sejumlah orangtua menolak karena kalau sekolah, anaknya nanti enggak kerja. Banyak juga yang menyindir, ngapain urus anak enggak sekolah? Saya diam saja,” ujar mantan dosen kampus swasta di Cirebon itu.
Perlahan tapi pasti, Ida mampu menarik anak-anak itu. Segala upaya dilakukan, mulai menyediakan buku, bibit tanaman, hingga membuat usaha produk cabai campur rebon. Satu per satu anak datang dan ikut belajar. Kini, muridnya sekitar 20 anak. Ida juga dibantu oleh Siska (24), mahasiswa, Fatimah (36), dan Ketua RT 006 Karangdawa Tini.
Pernikahan dini
Ida mengakui, perjuangannya masih panjang. Kadang, ia tertunduk lesu ketika sejumlah anak tidak lagi rutin belajar di Wangsakerta. ”Aktivitas ini seperti seni, harus dilakukan dengan senang,” ucapnya menghibur diri.
Kawin bae ambiran dipangani wong lanang (Menikah saja biar dinafkahi suami).
Apalagi, bagi anak perempuan di sana, tidak sekolah sama dengan jalan menuju pernikahan dini. Di sana, sudah lazim ungkapan kawin bae ambiran dipangani wong lanang. Artinya kurang lebih menikah saja biar dinafkahi suami.
”Untung ada sekolah (Wangsakerta). Orangtua sudah enggak minta saya menikah. Emong (enggak mau) nikah. Kita bli weru (saya belum tahu) apa-apa,” ujar Aisyah (16), siswa Wangsakerta yang tidak lanjut ke bangku SMA karena kendala biaya. Anak tukang becak itu kini banyak membuat puisi dan membaca novel.
Ida juga mengajak para siswa dan warga mengenali potensi dan persoalan kampungnya. Mereka memetakan kepemilikan sumur hingga belanja rumah tangga warga yang sebagian besar habis untuk belanja pangan. ”Selama ini, pemetaan oleh pemerintah hanya memandang warga sebagai obyek, tidak dilibatkan,” ujarnya.
Hasilnya mengagetkan. Sebanyak 198 anak usia 6-18 tahun tidak bersekolah. Jumlah itu lebih dari 30 persen anak usia sekolah di kampung itu. Sebanyak 235 warga juga teridentifikasi buta huruf, termasuk 53 warga usia 11-35 tahun. Jumlah total penduduk di kampung itu adalah 2.695 jiwa.
Berbagai problem itu membuat Ida enggan menjauh dari kampung. Apalagi, ia bercita-cita membangun masyarakat desa yang mandiri dalam hal pangan, energi, dan mampu menentukan nasibnya sendiri. Pandangan itu ia peroleh setelah berdiskusi dengan penulis dan aktivis Roem Topatimasang serta Ahmad Mahmudi dari Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan.
Alasan ini pula yang membuatnya meninggalkan pekerjaannya di Ibu Kota. Di sana, ia bekerja di organisasi internasional nonpemerintah sejak 2000-an hingga 2011. Selama itu, ia terpisah jarak dengan Wakhit yang harus melanjutkan studi magister di Yogyakarta.
Pada 2011, ia memilih meninggalkan gaji sekitar Rp 8 juta, hampir empat kali lipat upah minimum Cirebon saat ini, agar berdaya di kampung. Apalagi, suaminya bekerja di sana.
”Kami punya perjanjian. Dulu, saya kerja, Mas Wakhit sekolah. Sekarang, gantian, saya urus kampung, dia cari duit,” ucapnya diiringi tawa.
Sebelum mendirikan Wangsakerta, ia juga aktif di Institut Sofi, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak memberikan penyuluhan di kalangan anak muda di Cirebon. Meski demikian, Ida tidak ”lari” dari tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Tidak jarang ia mengajak dua anaknya ke kampung dan berbagi cerita ketika anaknya pulang sekolah.
Jiwa sosial Ida sudah muncul sejak ia kecil. Kehidupannya sederhana. Bersama tujuh saudaranya, putri pedagang kayu itu tinggal di dekat jalur kereta api di Cikarang, Bekasi. Setelah tamat sekolah menengah, ia menjadi buruh pabrik boneka setahun. Setelah dapat tabungan, ia kuliah sembari kerja sebagai penerjemah bahasa Inggris.
Saat kuliah, ia aktif di pers kampus, LSM yang bergerak di bidang perempuan, hingga ikut mendampingi warga yang tergusur. Tak dinyana, rumah keluarganya turut digusur karena pembangunan jalur ganda kereta api. ”Kami yang terakhir digusur dan mencari rumah di tempat lain,” kenangnya.
Kini, Ida tidak mau berhenti di Karangdawa. Ia ingin anak-anak putus sekolah di kampung lain juga punya asa untuk bangkit dan mandiri.
Farida Mahri
Lahir: Bekasi, 11 Maret 1973
Suami: Wakhit Hasim
Anak: Farah Khalidia (13) dan Zydan Djuza
Pendidikan terakhir: Universitas Negeri Yogyakarta
E-mail: faridamahri@gmail.com