Mahasiswa Yogyakarta Tolak Gerakan Inkonstitusional
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Jogja menggelar aksi unjuk rasa menolak gerakan inkonstitusional yang tak menerima hasil Pemilu 2019. Aksi itu digelar di persimpangan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (22/5/2019). Segala dugaan kecurangan itu perlu diselesaikan lewat jalur hukum sesuai mekanisme yang tersedia agar memperoleh titik terang.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS—Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Jogja menggelar aksi unjuk rasa menolak gerakan inkonstitusional yang tak menerima hasil Pemilu 2019. Unjuk rasa itu digelar di persimpangan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (22/5/2019). Segala dugaan kecurangan itu perlu diselesaikan lewat jalur hukum sesuai mekanisme yang tersedia agar memperoleh titik terang.
Aksi itu dimulai sekitar pukul 16.30 dan diikuti oleh sedikitnya 20 orang mahasiswa. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Tolak Gerakan Inkonstitusional”, “Save KPU”, dan “Save Bawaslu”. Aksi tersebut berlangsung damai.
“Kalau kami melihat. Hari ini ada bentuk reaksi yang mengarah kepada tindakan inkonstitusional. Kami ingin mengingatkan agar bagaimana sikap penerimaan tahap-tahap pemilu disikapi dengan cara yang sesuai konstitusi,” kata Afrizal Rudolf, Koordinator Umum Aliansi Mahasiswa Jogja, di sela-sela aksi unjuk rasa.
Hal yang diungkapkan Afrizal itu merupakan respon dari aksi unjuk rasa menolak hasil pemilu yang berlangsung sejak Selasa (21/5/2019). Aksi itu menyusul penetapan perolehan suara oleh KPU pada Selasa dini hari. Hingga Rabu petang, aksi itu belum juga rampung.
Afrizal menginginkan agar elit politik mau melakukan rekonsiliasi pasca kontestasi pemilu yang begitu panjang dan memiliki tensi tinggi. Menurutnya, ketegangan tidak hanya terjadi di atas tetapi tersalur pula di tengah masyarakat.
“Masyarakat yang paling merasakan dampaknya jika terjadi ketegangan politik dan perselisihan. Elit politik harus melakukan hal-hal yang menjaga perdamaian agar bangsa ini tidak terpecah belah. Jangan sampai membuat propaganda yang mengarah kepada terpecah belahnya masyarakat,” kata Afrizal.
Afrizal menambahkan, jika ada pihak yang merasa tidak puas dengan hasil pemilu, mereka perlu menempuh jalur hukum yang sudah tersedia mekanismenya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Hanya hukum yang mampu membuat permasalahan ini menjadi terang benderang.
Secara terpisah, Arie Sujito, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan, semua elit politik harus memosisikan kembali pemilu sebagai bagian dari demokrasi. Pemilu tidak semata-mata kontestasi. Semua proses telah dilalui dan memberikan hasil yang harus diterima oleh semua pihak.
“Semua pihak harus menahan diri dan mengikuti aturan yang berlaku. Kalau ini tidak ditaati, demokrasi bisa terjebak sekadar pada kekerasan. Hal tersebut hanya membuat konflik. Kita tidak sedang berdemokrasi jika demikian. Kita hanya sekadar mencari menang-menangan dalam demokrasi,” kata Arie, saat dihubungi, Rabu petang.
Arie mengatakan, elit politik hendaknya tidak melakukan tindak provokatif. Hal itu dapat membuat situasi menjadi tidak kondusif. Demokrasi harus ditegakkan sesuai dengan hukum yang berlaku. Ada aturan main yang perlu ditaati oleh semua pihak.
Semua pihak harus menahan diri dan mengikuti aturan yang berlaku. Kalau ini tidak ditaati, demokrasi bisa terjebak sekadar pada kekerasan. Hal tersebut hanya membuat konflik. Kita tidak sedang berdemokrasi jika demikian. Kita hanya sekadar mencari menang-menangan dalam demokrasi
“Kita butuh kematangan dan kedewasaan. Butuh integritas. Harus menghormati aturan main sehingga kita semua bisa memperoleh keadilan,” kata Arie.