Pembatasan akses fitur media sosial untuk sementara berlangsung selama 2-3 hari. Dia menyatakan, kebijakan ini diambil dalam kerangka kepentingan keamanan nasional.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah beredarnya informasi dan hoaks yang simpang siur, pemerintah menilai, kehadiran media arus utama menjadi acuan dalam penyebaran berita yang kredibel. Masyarakat diminta mengonsumsi berita dari media massa arus utama yang telah melalui proses verifikasi informasi terkait perkembangan terkini.
Untuk mencegah peredaran hoaks, pemerintah memutuskan membatasi sementara sejumlah fitur media sosial mulai Rabu (22/5/2019). Kebijakan ini diambil untuk mencegah konten hoaks yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan RI diunggah ke media sosial, lalu difoto untuk disebarkan di grup-grup percakapan.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengumumkan kebijakan tersebut dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu. Pemerintah mengambil langkah tersebut merespons perkembangan situasi terkini ketika unjuk rasa terkait hasil Pemilu 2019 di Bawaslu berakhir ricuh pada Rabu dini hari.
Menko Polhukam didampingi Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, Jaksa Agung Prasetyo, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Siwi Sukma Adji, dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Yuyu Sutisna juga hadir dan duduk berjajar di belakang Menko Polhukam.
Wiranto menegaskan, pembatasan akses fitur media sosial untuk sementara berlangsung selama dua-tiga hari. Dia menyatakan, kebijakan ini diambil dalam kerangka kepentingan keamanan nasional.
Dia menegaskan, masyarakat turut berperan penting dalam keamanan nasional pada situasi saat ini. ”Jika masyarakat mampu berpikir secara rasional saat menerima informasi, hal ini sudah membantu mengamankan negeri ini. Jangan mudah percaya hoaks dan hasutan yang bersifat negatif,” tuturnya.
Apresiasi
Terkait dengan pembatasan berbentuk perlambatan saat mengunduh serta mengunggah video, foto, dan gambar di sejumlah media sosial, seperti Instagram dan Facebook, juga aplikasi berkirim pesan seperti Whatsapp, Rudiantara mengatakan, hal itu bersifat sementara.
”Yang negatif-negatif ada di sana (media sosial). Oleh sebab itu, kami sangat mengapresiasi media arus utama,” kata Rudiantara.
Menurut dia, selama ini modus yang berjalan ialah foto, video, dan gambar hoaks diunggah di media sosial. Kemudian, konten media sosial tersebut difoto (screen captured), lalu disebarluaskan melalui grup-grup percakapan seperti Whatsapp atau Telegram sehingga viralnya bukan di media sosial, melainkan dalam aplikasi percakapan yang tidak terpantau.
Rudiantara mengungkapkan, foto, video, dan gambar tersebut mampu menyulut emosi pembaca secara cepat, padahal belum tentu informasi tersebut benar. Oleh karena itu, Rudiantara pun mengimbau masyarakat agar tetap mengacu pemberitaan media massa arus utama untuk mendapatkan informasi yang akurat dan kredibel.
Bisa berkomunikasi
Pembatasan media sosial dan sistem berkirim pesan ini berlaku untuk semua masyarakat. Rudiantara menyebutkan, masyarakat masih dapat berkomunikasi dengan pengiriman teks dan suara.
Adapun pembatasan ini masih berlandaskan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Rudiantara menyoroti ada dua hal dalam UU ITE yang menjadi dasar, yakni manajemen konten dan ITE yang bertujuan meningkatkan literasi digital.
Dalam kesempatan yang sama, Moeldoko mencontohkan, sejumlah gambar, video, dan foto yang beredar tidak berasal dan tidak berkaitan sama sekali dengan situasi sepanjang 21-22 Mei 2019. Menurut dia, penyebaran informasi tersebut bertujuan menyulut emosi yang dapat menimbulkan kebencian.